Sekolahku Tak Sempurna


Hai. Mumpung sekolah ngasih libur 4 hari dalam rangka Ujian Nasional 2013. Dan mumpung aku lagi ada waktu luang, aku isi buat nulis deh. Kali ini aku mau mereview novel keren lho! Novel ini hasil karya Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black, judulnya “Tak Sempurna”.
Weisss.. dari judulnya aja udah cetar. Gimana yak kira-kira isinya? Hhmmm.. Sebelum aku mereview isi novel Tak Sempurna , aku mau cerita dulu gimana perjalanan novel ini sampai ke tanganku.



Jadi, dari akhir tahun 2012 begitu denger Bondan Prakoso & FadeBlack bakal bikin buku kedua setelah buku “Hidup Berawal dari Mimpi” aku bergegas ngumpulin receh dari sisa uang saku aku tiap hari. Sekitar bulan Januari, ada Pre Order novel “Tak Sempurna” dan  jika beli pre order bakal ada bonus tanda tangan ekslusif dari penulisnya. Maka dari itu, aku buru-buru ikutan PO novel “Tak Sempurna”. Beberapa Minggu kemudian, sepulang sekolah aku menemukan novel “Tak Sempurna” mendarat dengan selamat di rumahku. Yeay!

Tanda tangan BondanF2B



Eeeeeitt, sebelum baca kita twitpic dulu donks. Hehe.. Abis poto-poto sama si novel, aku langsung babat abis itu buku. Isinya bener-bener BAM SPEKTAKULER!!! Bener-bener sesuai dengan realitas pendidikan & anak muda saat ini. Intinya, ada seorang anak SMA bernama Andri yang broken home. Dimana ia mengenyam pendidikan di sebuah sekolah yang punya adat tawuran dari tahun ke tahun. Nah, suatu ketika ia kecelakaan saat ikut membela temannya yang tawuran dan akibatnya salah satu kakinya harus diamputasi. Dari situ, ia sadar betapa menyesalnya dulu pernah ikut-ikutan kegiatan gak penting kayak tawuran. Andri berharap tidak ada lagi anak muda yang bernasib sama seperti dirinya.
Yuks ah, kita simak bagian favorit aku di novel “Tak Sempurna”.
Sekolahku adalah tempat terbaik untuk bertumbuh: Guru-guru, dengan pakaian rapi dan rambut kelimis, tersenyum ramah menyambut semua murid yang memasuki kelas penuh harapan. Guru, begitu kami menyapa mereka, seperti makna sesungguhnya: Teladan utama yang benar-benar patut digugu dan ditiru.
Di kelas, pelajaran-pelajaran disampaikan dengan cara yang menyenangkan. Murid-murid saling membantu-mengulurkan tangan untuk siapa saja. Tak ada kata-kata kotor disana, tak ada umpatan dan caci maki, semua yang terlontar dari lidah semua orang bagai madah yang mengalun indah.
Di sekolahku, ada cinta dan persahabatan. Sekolahku adalah tempat yang paling tepat untuk menempa diri dan menyiapkan masa depan! Tak ada yang lebih baik dari tempat ini. Sekolahku bisa diandaikan sebagai surga dunia!
Di sekolahku, saat murid-muridnya lulus, mereka bisa bergembira merayakan keberhasilannya dalam pesta apa saja yang paling membuat mereka bahagia. Setelah semua itu, mereka akan mendapatkan perkerjaan yang baik, menjadi orang baik-baik, sukses dan kaya raya, mendapatkan jodoh dan berkeluarga, hidup bahagia selama-lamanya…
Itulah sekolahku. Jika tak percaya, datanglah ke sana: Maka kau akan menemukan kebohongan-kebohongan semacam ini, lebih banyak lagi…
Cih!
Aku muak dengan semua ini! Sekolahku adalah tempat sampah bagi semua kotoran dan kebusukan dunia. Di sekolah aku pertama kali mengenal hampir semua kata-kata kotor, umpatan dan makian. Teman-teman memperkenalkan aku pada video-video porno. Di sekolah, orang-orang dipanggil dengan nama binatang. Bisa aja. Disana, orang tua kami tak ada harganya, dicaci maki dan dilecehkan. Kurang ajar. Guru-guru, kebanyakan dari mereka munafik dan menyebalkan, mereka mengajari kami kebaikan-kebaikan yang tak pernah mereka contohkan dalam tindakan-tindakan keseharian.
Demi masa depan?Entah Nabi mana yang mengajari bahwa sekolah menjami masa depan yang baik. Sekolah? Bullshit! Kenyataannya, jutaan pengangguran berijazah sekolah setiap tahun mengantre di perusahaan-perusahaan yang dimiliki orang putus sekolah! Aneh! Aku etuju bahwa manusia perlu ilmu pengetahuan, dan ilmu ppengetahuan adalah modal penting untuk mendapatkan masa depan yang baik. Tetapi bisakah semua itu tak dimonopoli dan dikalengkan di pabrik-pabrik pengetahuan bernama sekolah? Ah, aku benci mengatakan ini: Aku benar-benar membenci sekolah, tapi aku tak punya pilihan lainnya!
Demikianlah. Tolol. Bego. Monyet. Banci. Dangdut. Kodok. Ngepet. Udik. Bangsat. Apapun bia menjadi nama lain bagi kami. Terserah selera kehendak kakak kelas yang mulia! Dan siapapun yang berani melawan atau melaporkan semua ini pada guru dan orangtua, tak akan selamat!
Sekarang, mungkin yang kuceritakan ini terdengar berlebihan. Nyinyir. Palsu. Atau apapun. Seolah-olah aku hanya remaja labil yang karena tak sanggup memikul tugas-tugas yang dibebankan sekolah, lantas frustasi dan membabi-buta menyalahkan segalanya tentang sekolah. Mungkin benar juga, aku adalah sampah dunia pendidikan yang tak sanggup berkompetisi dalam sebuah arus utama bernama sekolah. Terserah kalian saja.
Aku ingin kalian membacanya dan mengetahui bahwa aku, dan teman-temanku, benar-benar butuh pertolongan. Ada yang salah dengan sekolah. Paling tidak, ada yang salah dengan sekolahku!
Mengapa begitu banyak hal buruk yang terjadi disini? Bukankah pendidikan berfungsi untuk membaikkan pekerti  dan meluhurkan akal-budi? Mengapa yang kujumpai dalam kenyataan justru kebalikannya: Anak-anak pemberang yang putus asa dengan masa depannya sendiri, guru-guru yang mangajari kami berbohong dan dengan enteng mengatakan ‘jangan terlalu ujur, jangan terlalu lurus’, pamer harta kekayaan di sekolah, pacaran yang berlebihan.
Ada apa dengan semua ini? Mengapa aku merasa justru segalanya lebih baik sebelum aku memasuki dunia bernama sekolah? Ada apa dengan sekolahku? Apakah hal yang kurasakan terjadi sama di sekolah-sekolah lainnya? Mengapa kita membutuhkan sekolah? Untuk mendapatkan ijazah pengakuan bahwa kita “berpendidikan”?
Lagi-lagi uang, kesejahteraan, dan pekerjaan. Sekolah adalah cara untuk mencapai semua itu-anak tangga yang boleh jadi tak terlalu penting tetapi tak bisa dilewatkan untuk mencapai puncak kesuksesan.  Benarkah? Sayangnya, aku meragukannya. Sangat meragukannya.
Mari kita lihat kenyataan sebenarnya. Bukankah 8 dari 10 orang terkaya di dunia tak menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah? Steve Jobs, Bill Gates, Henr Ford, dan seterusnya. Bukankah banyak diantara orang-orang terkaya di Indonesia juga tak menamatkan bangku sekolahnya? Lim Swie Liong, Susi Pudjiastuti, Willy Sidharta, dan seterusnya.
Sebagian dar kita mungkin mencibir cara berpikir ini-cara berpikirku. Lalu untuk apa kita belajar di sekolah? Untuk menjadi orang yang berguna bagi sesama-orang yang bisa memberi pencerahan dengan ilmunya? Aku punya gugatan tersendiri tentang ini. Nabi Muhammad, Socrates, Malcolm X, Bunda Teresa, Shakespeare, bukankah mereka juga tak mendapat pendidikan di bangku sekolah? Tetapi mereka tetap bisa berbuat baik dan mencerahkan peradabannya.
Mungkin cara berpikirku tentang semua ini salah. Aku hanya seorang anak yang sedang mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan disekililingnya-segala sesuatu yang terus menerus membuatnya gelisah dan bertanya-tanya.
Aku memerlukan pendidikan, tak diragukan lagi, tetapi sejujurnya: Aku benci sekolah!
Pendidikan adalah kunci keberhasilan, demikian aku sering diberitahu Papa dan Mama. Tapi benarkah pendidikan harus selalu dan selamanya didapatkan dari sekolah? Aku jadi ragu tentang itu. Mengapa pendidikan selama ini demikian kurang ajar direduksi  sebatas memberi guru-guru pekerjaan untuk mengisi otak-otak kami dengan hapalan, huruf dan angka-angka, gambar-gambar dan apa saja yang kelak akan diukur dengan seperangkat soal dalam ujian?
Ah, ujian nasional! Aku muak dengan semua itu! Bimbingan belajar yang mahal, seragkaian try-out yang bikin stress, buku-buku persiapan UN yang mahal… Setelah itu, tak sedikit yang gagal di antara kami dalam ujian nasional digagalkan masa depannya. Ya, digagalkan. Dibuat putus asa.
Aku tidak bermaksud menolak sekolah, sebab kenyataannya aku sendiri bersekolah, bekerja keras, mengikuti ujian, lulus dan mendapatkan ijazah dn sertifikat. Aku tidak anti sekolah. Aku hanya ingin kita semua kembali memikirkan tentang itu.
Demikianlah, aku dan teman-temanku, kami, hidup di dunia yang tak sempurna. Saat pagi memaksa kami pergi sekolah untuk bekera keras demi masa depan yang tak jelas. Guru-guru bagai diktator yang meneror kami agar menanam pohon masa depan yang seragam-disiram hapalan dan dipupuki serangkaian ujian yang membuat kami ketakutan.
Demikianlah kisahku tentang sekolah. Sekolahku. Barangkali aku memang sudah lulus dan bebas dari semua itu. Tapi aku percaya, pelajar-pelajar lainnya masih butuh pertolongan. Cepat tolong mereka. Selamatkan jiwa-jiwa mereka. Sebelum semuanya terlambat.


                Wake up everone,
                Cause now it’s time to face the revolution!
                Save Our Soul… We need a new world!
                Save Our Soul… Ready for changes!
                Save Our Soul… Prepare yourself for Revolution!

Buscar

 

Labels

About

Ma Petit Histoire Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger