Rembulan Tenggelam di Wajahmu: Tuhan Menjawab Pertanyaanmu dengan Caranya


Entah sudah berapa film yang saya tonton diadaptasi dari buku. Biasanya saya tonton film yang diadaptasi dari buku-buku dengan penulis yang saya gemari. Namun, tidak dengan kali ini. Saya pun agak kurang percaya bahwa saya menonton film yang diadaptasi dari novel karya Tere Liye. Harus saya akui,  sampai sekarang saya belum pernah membaca karya-karya Tere Liye yang sangat populer dan laris bak kacang goreng itu.

Sekadar cerita saja ya, gara-gara terbius dengan film Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Saya dengan sengaja terbang ke Semarang khususnya mengunjungi Kota Lama kawasan Semarang demi mencari sudut-sudut yang menjadi lokasi pengambilan gambar film tersebut. Beberapa sudut yang saya temukan di antaranya sudut yang menjadi tempat para preman dan Ray adu pukul yang letaknya dekat dengan akar pohon beringin, lalu saya menemukan lokasi pengambilan gambar ketika Ray dan Natan mengamen di angkutan kota, dan hingga kini saya masih dibuat penasaran dengan gedung bertingkat empat puluh yang kemungkinan menyulap gedung Asuransi Jiwa Sraya menjadi gedung bertingat empat puluh karena di situ terdapat adegan Ray dan Bang Ape memanjat gedung super tinggi hingga terlihat langit malam Kota Semarang yang indah. Kemudian saat perjalanan menuju Tembalang, tanpa sengaja saya menemukan sebuah rumah yang sangat mirip dengan bentuk rumah singgah dalam film tersebut. Saya semakin yakin rumah unik bergaya kuno itu rumah singgah Ray karena adik saya pun beranggapan demikian. Tinggal mencari rumah yang dijadikan sebagai panti asuhan Ray nih~

Awal mendengar judul “Rembulan Tenggelam di Wajahmu” sudah bisa disaksikan di bioskop. Dengan lancangnya saya menduga bahwa film ini akan berkisah tentang romantisme. Akan tetapi dugaan saya tersebut terbantahkan ketika menonton cuplikan trailer filmnya. Ditambah dengan ulasan-ulasan pakar sinema dari kanal youtube membuat saya sempat ragu karena jumlah penontonnya yang sedikit. Namun akhirnya diiringi drama hujan yang tidak kunjung reda, berangkatlah saya menuju bioskop.

Di awal film, kita akan disambut oleh rembulan dari kaca jendela Rumah Sakit Telogorejo Semarang. Seorang pria berusia berusia 60 tahun yang diperankan Arifin Putra nampak terbaring tak berdaya dengan banyak selang dan peralatan medis mengalir ke tubuhnya. Dalam kenyataan, kondisi ini dialami oleh manusia yang koma atau menghadapi sakaratul maut. Pada kondisi itulah, datang seorang pria berkemeja memanggil nama laki-laki berusia 60 tahun itu, “Rayhan.. Rayhan..”

Pria berkemeja yang diindikasi sebagai malaikat utusan Tuhan itu berhasil membangunkan Rayhan dan mengajaknya untuk menjawab lima pertanyaan besar yang sering diajukan Rayhan pada Tuhan selama hidupnya.

Pertanyaan pertama membawa Rayhan bersama si malaikat ke suatu wilayah pelabuhan yang saya yakin lokasinya berada di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Sebab salah satu dari banyak faktor menonton film ini adalah karena lokasi syutingnya di Kota Semarang. Hehehe. Penonton akan dibawa ke perjalanan masa lalu Rayhan, Panti Asuhan tempat Rayhan dibesarkan.      

Rayhan memiliki keluarga di Panti Asuhan di antaranya pemilik panti yang dipanggilnya Bapak dan anak-anak panti lain yang usianya di bawah dirinya yang dianggapnya sebagai adik. Di panti asuhan tersebut, Rayhan memiliki kawan baik bernama Diar yang sehari-harinya bekerja sebagai penjaga WC umum.  Saya menyimpulkan karakter Diar ini 180 derajat berkebalikan dari Rayhan.  Dari adegan awal saja digambarkan Rayhan merampas makanan dari seorang wanita bergelang emas dan membaginya kepada Diar untuk buka puasa, tetapi Diar menolak karena menganggapnya sebagai barang tidak halal. Diar digambarkan sebagai muslim yang taat, berbeda dengan Rayhan yang digambarkan sebagai manusia yang masih dalam proses pencarian Tuhan. Berulang kali ketika Diar mengajak Rayhan beribadah, Rayhan selalu menolak dengan mengatakan, “Tolong tanyakan pada Tuhan, kenapa Dia menaruhku di panti asuhan ini?” Pertanyaan tersebut berulang kali ditanyakan Rayhan pada dirinya sendiri dan pada Tuhan.

Dalam cerita ini, tidak ada karakter yang digambarkan sempurna. Rayhan sang tokoh utama digambarkan memiliki karakter remaja bengal yang jago berkelahi dan tidak takut pada apapun, namun di dalam hatinya ia sangat peduli pada orang-orang terdekatnya. Selain itu, sebut saja si pemilik panti asuhan yang biasa dipanggil bapak. Orang lain mungkin akan menilai bapak sebagai orang yang mulia karena menampung dan membesarkan anak-anak di panti asuhan binaannya, tetapi tidak ada yang menyangka bahwa tokoh bapak selalu menyembunyikan donasi dari donatur. Anak-anak panti asuhan diberikan makan seadanya dan tidak diberikan haknya. Itulah mengapa saya bilang karakter tokoh di cerita ini tidak sepenuhnya sempurna. Sama halnya seperti manusia biasa pada umumnya. Tidak ada yang benar-benar sempurna. Setiap manusia memiliki sisi baik dan buruknya masing-masing. Maka tiada bijak bila kita sesama manusia merasa paling benar daripada manusia lainnya, merasa paling pantas hingga menghakimi manusia lainnya. Satu-satunya yang sempurna hanyalah Dia Yang Maha Sempurna.

Tidak heran bila Rayhan kerap mempertanyakan “Apakah Tuhan itu adil?” Perjalanan hidup Rayhan sejak remaja yang diperankan Bio One ini memang penuh perjuangan dan air mata. Sejak bayi ia telah terpisah dari kedua orang tuanya hingga akhirnya ia dibesarkan oleh bapak panti asuhan bersama istrinya yang kini telah meninggal. Kemalangan yang dialami Rayhan sepeninggal bunda (pemilik panti asuhan) membuatnya menjadi sosok remaja yang tak terkendali. Pertanyaan “mengapa Tuhan menitipkan Rayhan di panti asuhan?” selalu ia tanyakan. Hingga pada akhirnya ada suatu konflik yang menyebabkan ia harus meninggalkan panti asuhan.

Perjalanan hidupnya kian rumit setelah ia meninggalkan panti asuhan. Rayhan semakin tidak terkendali. Hingga pada akhirnya ia menemukan jejak bukti riwayat hidupnya bahwa ia terpisah dari orang tuanya akibat kebakaran. Kedua orang tuanya meninggal yang membuatnya menjadi sebatang kara. Bukti berupa secarik kertas koran itu selalu ia simpan di dalam saku celananya.

Peristiwa-peristiwa getir Rayhan alami dari mulai kematian Diar sahabatnya akibat ulah Rayhan yang menyebabkan bapak panti asuhan menitipkan Rayhan ke rumah singgah di tengah kota. Rayhan mulai merasa menemukan sedikit kebahagiaan di rumah singgah tersebut berkat teman-teman barunya. Hingga pada suatu ketika ada kejadian yang membuatnya harus berurusan dengan preman-preman. Padahal tujuannya mulia, Rayhan ingin menolong Ilham (sahabat barunya di rumah singgah) yang menangis karena lukisan karyanya dirusak oleh kawanan preman tersebut. Akibat kejadian itu, Rayhan dan orang-orang di sekelilingnya terus diawasi oleh para preman itu. Bahkan mengakibatkan ia keluar masuk penjara karena berurusan dengan polisi karena membuat onar di tempat umum. Masalah-masalah yang tak berujung itu membuatnya ia kerap merenungi hidupnya. Kebiasaan itu kerap dilakukan di atas tower air. Ia naik ke atas tower pada malam hari. Dari atas towerlah Rayhan bisa melihat wajah rembulan lebih dekat. Barangkali hal itulah yang membuat hatinya tenang.

Kebiasaan anehnya itu ternyata diam-diam diperhatikan oleh Bang Ape, seorang preman berhati baik. Melihat kegesitan Rayhan atau Ray memanjat tower air yang sangat tinggi tanpa rasa takut membuat kagum Bang Ape. Ia mengajak Ray melakukan misi bersama dengan risiko yang besar yakni mencuri berlian di gedung lantai 40, gedung tertinggi di kota tersebut yang dijaga sangat ketat.

Peristiwa tertembaknya Ray dalam usaha pencurian barang berharga di gedung tinggi itu perlahan menjawab teka-teki pertanyaan Rayhan selama ini pada Tuhan. Tanpa sengaja Bang Ape menemukan secarik kertas koran yang berisi berita kebakaran yang terjadi belasan tahun silam. Ia tiba-tiba mengingat suatu peristiwa dalam hidupnya. Ia teringat bayi yang ia selamatkan dari kobaran api yang dibakarnya sendiri. Bang Ape tertegun bahwa pemuda yang tengah terkapar terkena peluru itu adalah bayi yang ia selamatkan waktu itu. Bayi itu kini telah menjadi pemuda yang berani dan kerap mempertanyakan ketidakadilan hidup.

Tanpa terasa air mata jatuh dari matanya. Bang Ape lantas memutuskan menyerahkan diri ke polisi dengan tetap menyembunyikan Ray yang masih tak sadarkan diri di markasnya. Esok paginya, Ray bangun lalu mencari Bang Ape. Namun sayang, Ray malah menemukan Bang Ape dari tayangan televisi. Bang Ape ditangkap polisi malam itu.

Dari peristiwa-peristiwa yang dialami Ray, penonton diajak untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar Ray selama hidupnya. Malaikat yang mengajak Ray untuk menapaki jejak masa lalu menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu telah terjawab, namun Ray tidak pernah menyadarinya.

Pertama, pertanyaan “Mengapa Tuhan menempatkan Ray di panti asuhan?” Jika dicermati, kematian Diar akibat ulah Ray itulah jawabannya. Ray merasa kematian Diar adalah akibat ulahnya hingga membuat Diar dikeroyok banyak orang lalu menyebabkan Diar meninggal. Jika Ray mampu memahami, Diar adalah alasan Tuhan menitipkannya di panti asuhan. Mengapa? Diar menganggap Ray adalah sahabat sekaligus pahlawan baginya. Ray adalah sahabatnya sejak kecil, teman berbagi selama di panti asuhan sekaligus pahlawan karena selalu melindungi Diar dan anak-anak lainnya dari kekejaman Bapak pemilik panti asuhan bahkan Ray kerap berkorban untuk kesalahan yang tidak dilakukannya demi melindungi saudara-saudaranya dari hukuman bapak. Pernah suatu kali bapak marah besar karena tasbihnya putus. Bapak mencari-cari anak yang dengan ceroboh merusak benda kesayangannya. Hingga Ray tiba-tiba mengaku bahwa dialah orang yang telah merusak tasbih tersebut padahal benda tersebut dirusak oleh Diar akibat kecerobohan Diar. Rayhan dihukum berat secara fisik oleh bapak atas kesalahan yang sebenarnya tidak ia akukan.

Pertanyaan kedua perihal “Apakah Tuhan adil?” cukup rumit  terjawab. Sebab dari peristiwa yang saling berkait itulah penonton akan menyimpulkan sendiri keadilan Tuhan pada diri masing-masing manusia. Jikalau saya menjadi Ray, barangkali akan menganggap Tuhan adil pada dirinya sebab ia terus saja diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk menjalani kehidupan berkat kebaikan Tuhan padanya. Namun, barangkali Ray merasa Tuhan tidak adil pada teman-temannya yang bernasib tidak seberuntung darinya. Sebut saja kawan baik Ray yakni Diar yang meninggal dunia akibat dikeroyok warga akibat ulah Ray, Natan yang kehilangan pita suara emasnya dan gagal mengikuti audisi penyanyi karena dikeroyok oleh preman-preman yang dendam dengan Ray, dan Ilham yang menjadi incaran preman-preman karena Ray membelanya, serta Bang Ape yang menyerah kepada polisi tanpa mengikutsertakan Ray (menyembunyikan Ray agar selamat) padahal mereka berdua telah berjanji apabila salah seorang dari mereka tertangkap polisi, maka mereka akan bersama-sama masuk penjara. Hingga delapan tahun kemudian Bang Ape dihukum tembak mati, Bang Ape tetap menjaga rahasia keterlibatan Ray dari polisi demi membiarkan Ray selamat.

Melalui film ini, saya menyimpulkan bahwa setiap peristiwa hidup dalam hidup manusia saling berkaitan dengan peristiwa dan manusia lainnya. Segala sesuatunya telah Tuhan gariskan. Tinggal kita memilih mampu atau memilih menyerah menjalaninya. Tuhan menunjukkan keadilannya melalui cara-Nya bahkan sulit untuk kita pahami dengan nalar.

Lalu saya teringat kutipan Pramoedya Ananta Toer, “Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang penderitaannya saja, dia sakit." Bahwa hidup tidak melulu tentang kesulitan atau melulu tentang kebahagiaan. Semuanya sudah dituliskan oleh-Nya sesuai porsinya.

Film ini merupakan pilihan yang tepat sebagai refleksi di penghujung tahun 2019 khususnya bagi saya pribadi. Tentu sedih ketika film yang dibuat dengan serius dan penuh makna seperti ini jumlah penontonnya lebih sedikit dibandingkan film horor yang tengah laris manis dibuat para sineas film di sana. Beberapa kritikan terhadap film ini perihal alur ceritanya yang cenderung membuat jenuh bahkan ngantuk. Mungkin karena setiap peristiwa diceritakan secara rinci dengan sedikit lambat menyebabkan penonton jenuh. Akan tetapi semua kejenuhan itu tidak akan terjadi kalau penonton dengan jeli memperhatikan akting yang luar biasa Bio One sebagai Ray muda. Bener banget sik, kepiawaiannya berakting menjadi penyelamat film ini. Hanya saja, Ray muda yang diperankan Bio One ini lebih menonjolkan sikap dan tindakan daripada dialog. Menurut saya, dialog Ray kalah banyak dibandingkan adegan fighting yang dilakukannya. Terlepas dari itu semua, film ini rekomended bagi kalian yang juga memiliki pertanyaan-pertanyaan hidup yang mungkin hingga detik ini belum terjawab.

Terperosok ke Esai


Sebetulnya mudah untuk menjawab pertanyaan, “Sudah dapat apa yang kamu inginkan di BP2M, Yun?” Saya akan menjawab dengan enteng, “Tentu sudah,” karena niat awal bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa BP2M hanyalah ingin mengenakan seragam dinas BP2M. Sekarang saya sudah memperoleh seragam berwarna hitam itu dan bisa kukenakan kapanpun saya ingin. Heheu.

Jadi begini, setelah mengikuti serangkaian proses, saya dan kawan-kawan seangkatan pun resmi magang di BP2M. Tentu untuk menjadi anggota BP2M yang sedikit cetho, kami pun dilatih sejak dini mulai dari teknik wawancara hingga teknik menulis. Kegiatan pelatihan itulah yang membawa saya bertemu sosok M. Irkham Abdussalam, Litbang terkeren yang pernah saya kenal.

Seminggu sekali, Mas Irkham mengadakan kelas menulis yang ditujukan khusus untuk kami (magang BP2M) dan diinstrukturi langsung oleh Bang Yasir atau kami biasa memanggilnya Om Sukamoto. Kami boleh menulis apa saja di sana. Om membebaskan kami untuk menulis apa saja yang kita mau lalu membedahnya bersama-sama. Biasanya dua tulisan terbaik akan diberikan penghargaan berupa buku yang tidak jauh-jauh dari judul ‘Altar Agung.’

Namun, kelas menulis bersama Om Sukamoto hanya bertahan di beberapa bulan saja. Hal tersebut dikarenakan hanya beberapa orang saja yang berangkat. Pernah suatu kali kelas menulis tersebut hanya dihadiri oleh saya dan kawan saya Teguh. Meskipun hanya dihadiri dua orang, Om Sukamoto tetap menyambut kami. Saya dan Teguh diajak berdiskusi sembari menonton pertandingan tinju di televisi hingga larut. Untung saja, gerbang Unnes belum seketat sekarang. Tidak ada jam jenguk seperti sekarang. Jadi, pukul 12 malam lebih pun kami masih bisa pulang ke kos.

Mulai beranjak dari magang menjadi anggota. Om Sukamoto menggagas kelas menulis khusus yang mana pesertanya adalah anggota BP2M khususnya angkatan saya yang dipilih oleh Om Sukamoto. Klub menulis yang digagas oleh Om Sukamoto diberi nama “New Academia” yang beranggotakan Lalu Jazidi, Teguh, Lina, dan saya sendiri. Kegiatan yang kami lakukan tiap minggu pun sama yakni berdiskusi lalu output yang dihasilkan berupa sebuah tulisan. Nah, hasil tulisan tersebut bisa kami unggah di blog pribadi milik masing-masing.

Karena niat awal hanya ingin mengenakan seragam BP2M saja, di tengah perjalanan saya pun bingung. Saya sudah mendapatkan seragam yang saya mau, di sisi lain saya pun mulai lancar menulis berita karena tiap hari berkutat dengan jenis tulisan semacam itu. Lantas, apa yang perlu saya cari lagi di BP2M?

Pada tahun 2016, saat itu adalah masa kepemimpinan Mas Irkham sebagai Pemimpin Umum Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M). Pada waktu itu, Mas Irkham sedang gemar-gemarnya membaca dan menulis. Tiap obrolannya pun tak jauh-jauh dari resensi buku dan esai.  
Sebetulnya sejak masih magang, saya tidak ada niat untuk belajar menulis esai. Berbeda dengan Teguh, niat awalnya bergabung BP2M yakni ingin tulisannya dimuat di surat kabar. Saya sering memperhatikan Mas Irkham dan Teguh, keduanya bila membaca koran, rubrik yang paling mereka cari adalah rubrik opini. Sementara saya sendiri cenderung melewati rubrik opini di surat kabar.

Dari awal magang saya memang cukup betah berlama-lama di kantor redaksi BP2M, entah hanya numpang cari wifi sembari nunggu jam kuliah berikutnya. Pun malam harinya, saya kembali melakukan aktivitas di UKM, entah rapat redaksi maupun sekadar mengerjakan tugas kuliah. Saking seringnya main ke kantor redaksi, otomatis setiap hari saya bertemu Mas Irkham. Di sela-sela waktu, Mas Irkham seringkali melontarkan ucapan agar saya bereaksi untuk menulis, juga terus mengajak saya ngobrol apapun yang cenderung menggiring saya dan adik-adiknya di BP2M untuk berliterasi.

“Aku abis baca buku bagus lho, Yun!”
“Iki Cah Kentingan sing tulisane terbit terus di SoloPos. Kamu gak pingin Yun?”
“Kamu boleh pinjam bukuku, asalkan setelah kamu baca, segera diresensi terus unggah di bp2munnes.org ya! Wajib! Aku meh moco tulisanmu.”
“Baca esai di website ini deh, Yun.. Wapik tenan!”

Yaa begitulah, ucapan-ucapan yang sering dilontarkan Mas Irkham dahulu kala. Setiap hari saya dan angkatan saya selalu dicekoki ihwal esai dan buku. Tujuannya baik, agar kami mau membaca buku dan menulis. Mas Irkham tidak ingin kami jadi orang yang pikun karena jarang membaca.

Menurutku cara didikan Mas Irkham untuk adik-adiknya sungguh unik. Dia tidak pernah mengajarkan secara teknis teknik menulis esai. Cara Mas Irkham unik, dia selalu mengklipingkan selembar esai atau resensi yang menurutnya bagus untuk diberikan pada saya agar dibaca. Saya akui, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya memang terdengar magis. Hingga mampu menggerakan adik-adiknya untuk membaca dan menulis. Sebut saja kawan saya Lalu Jazidi, si maniak anime itu bisa menjadi seorang pembaca tekun. Ia mampu mengkhatamkan beberapa buku dalam satu hari.

Mas Irkham pun mampu membuat saya tergerak untuk coba-coba menulis esai lalu mengirimkannya ke surat kabar. Sebagaimana definisi esai menurut Gus Dur yakni sebuah tulisan yang coba-coba. Namanya juga baru coba-coba menulis, dua kali mengirimkan opini ke Tribun Jateng, hasilnya belum berhasil lolos terbit. Ketiga kalinya, saya coba menulis esai tentang Idul Adha lalu saya kirim ke Tribun Jateng. Syukur Alhamdulillah, tulisan ketiga yang saya kirimkan itu diterbitkan di surat kabar Tribun Jateng. Betapa kagetnya Mas Irkham mendengar kabar itu. Hahaha.

Kabar terbitnya tulisan saya di Tribun Jateng cukup menggemparkan BP2M khususnya angkatan saya kala itu. Karena pada saat itu, hanya seniorlah yang tulisannya sering terbit di media massa. Di sisi lain kala itu angkatan saya dianggap angkatan yang ‘kurang vokal’. Sehingga terbitnya tulisan di media massa sekaligus ingin menunjukkan bahwa angkatan saya pun bisa keren seperti kakak-kakak di BP2M.

Tidak berselang lama, BP2M kembali gempar oleh kabar bahwa esai Teguh, kawan seangkatan saya, berhasil terbit di surat kabar. Dilanjutkan oleh Annisa Lufi (AL) yang paragraf argumentasinya berhasil nampang di rubrik Kompas Kampus. Hal itu semakin membuat Mas Irkham dan Om Sukamoto kian bersemangat mengajak kami untuk sinau esai lebih dalam.

Selang kepergian Mas Irkham, akhir tahun 2017 saya coba-coba ikut PJTLN di Bali dengan mengirimkan sebuah esai bertema “Pers dan Hoax.” Alhamdulillah, saya berhasil lolos seleksi namun kesempatan itu tidak saya ambil karena orangtua tidak mengizinkan saya berpergian sendiri ke Bali. Sehingga kesempatan itu saya berikan ke kawan seangkatan saya Imron. Dia berkenan menggantikan saya mengikuti PJTLN Bali Journalist Week.

Jujur saja, mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional adalah keinginan saya sejak masih jadi magang BP2M. Kala itu, Mas Irkham pernah bercerita tentang dua orang delegasi BP2M yang berangkat ke Makassar untuk mengikuti PJTLN.

Namun, Tuhan berkehendak lain. Awal tahun 2018, saya mendapat pengumuman lewat pesan WhatsApp grup BP2M bahwa akan diselenggarakan PJTLN di Makassar. Syarat seleksinya adalah mengirim sebuah esai bertema “Mahasiswa dan Tahun Politik.” Karena satu LPM dibatasi hanya boleh mengirimkan dua delegasi, maka saya turut mengajak kawan seangkatan saya yakni Lalu Jazidi untuk mengikuti kegiatan ini. Alasan saya mengajaknya adalah 1) saya butuh teman, belajar dari sebelumnya bahwa Ayah saya khawatir bila anak perempuan berpergian jauh sendirian, 2) Lalu adalah mahasiswa Politik, tentu dia akan luwes menulis esai tentang Mahasiswa dan Politik, 3) Lalu sudah pernah naik pesawat, jadi saya tidak perlu khawatir akan tersesat karena saya belum pernah naik pesawat.

Namun, seminggu sebelum ditutupnya seleksi tulisan yang masuk. Lalu tidak kunjung mengirimkan esai. Akhirnya saya memutar otak, saya pun mengajak Teguh karena dia juga adalah mahasiswa Politik. Tawar menawar pun dilakukan karena awalnya saya tidak mengatakan tentang PJTLN di Makassar. Saya hanya mengatakan, kalau ingin jalan-jalan di Makassar, segeralah kirim esai bertema “Mahasiswa dan Tahun Politik.”

Rupanya tidak hanya saya dan Teguh yang mengirimkan esai dalam rangka PJTLN di Makassar. Dua adik kami di BP2M yakni Fiskal dan Royyan pun juga mengirimkan esai. Mereka juga ingin mengikuti PJTLN di Makassar. Namun, satu LPM hanya boleh diwakili maksimal oleh dua orang saja. Tiba di hari pengumuman seleksi, nama saya dan Teguh muncul di situs daring LPM Profesi bahwa kami lolos untuk mengikuti PJTLN tahun 2018.

Singkat cerita, di akhir penutupan kegiatan PJTLN di Makassar yang bertajuk PINISI 2018, panitia memberikan penghargaan dalam dua kategori, antara lain kategori peserta teraktif dan kategori esai terbaik.  Puji syukur saya memperoleh penghargaan kategori esai terbaik dalam kegiatan PINISI 2018 di Makassar.

Usai menerima sertifikat penghargaan dari panitia, saya masuk ke kamar untuk berkemas-kemas pulang kembali ke Jawa. Di sela-sela waktu, saya memandangi sertifikat bertuliskan “esai terbaik” secara lekat-lekat. Tiba-tiba saya rindu Alm. Mas Irkham, saya teringat ketika Mas Irkham berhasil menyabet gelar esai terbaik dalam sayembara menulis esai tentang R.A. Kartini. Kala itu, saya cuma bisa mikir, “Kapan ya bisa dapat kategori esai terbaik seperti Mas Irkam?”

Dan ketika saya telah berhasil memperoleh apa yang saya inginkan dahulu, saya belum bisa menunjukkannya ke Mas Irkham karena Almarhum telah pergi meninggalkan kami lebih dulu. Sampai saya tua nanti, saya akan tetap mengingat Mas Irkham sebagai kakak terhebat yang pernah saya kenal. Saya sangat merasa kehilangan karena saya tidak memiliki kakak kandung dan Mas Ikrham hadir sebagai kakak yang sangat ngemongi adeknya di BP2M. Semoga Almarhum beristirahat dengan tenang di surga bersama buku-buku.

Membaca Teka-teki Wiji Thukul di Kota Khatulistiwa

“Bapakku seperti puisi, singkat dan misterius.”- Fajar Merah, putra Widji Thukul.

Seperti yang diungkapkan oleh Fajar Merah, Wiji Thukul memang sosok penuh teka-teki. Hal ini yang menginspirasi Anggi Noen, sang sutradara untuk mengupasnya dalam sebuah film. Berlatar tahun 1996, film ini mengangkat kisah hidup seorang Wiji Thukul, salah seorang dari 13 aktivis yang dinyatakan hilang pada zaman rezim Orde Baru. Seminggu sebelum tumbangnya Soeharto, Wiji Thukul dinyatakan hilang dan tidak diketahui keberadaannya hingga sekarang.

Istirahatlah Kata-kata dibuka dengan sepotong adegan seorang intelijen yang tengah mencoba mengorek informasi mengenai keberadaan Wiji Thukul dari seorang anak perempuan dan wanita yang merupakan anak dan istri Wiji Thukul. Sedangkan di belakang intelijen itu, intel lainnya digambarkan tengah menggeledah buku-buku milik Wiji Thukul yang tertata rapi di rak buku rumahnya.

Sang sutradara memang mengembangkan cerita pada situasi dan kondisi Wiji Thukul selama melarikan diri dan bersembunyi di Pontianak pascakerusuhan 27 Juli 1996. Film ini berfokus bagaimana Wiji Thukul beradaptasi dengan lingkungan baru karena berpindah-pindah tempat tinggal dan bagaimana Wiji Thukul memupuk keberanian untuk bersosialisasi dengan masyarakat dengan menggunakan identitas baru.

Film yang rilis pertama kali pada Agustus 2016 di Locarno International Film Festival ke-69 ini tidak condong mengupas pergerakan Wiji Thukul dalam usahanya melawan rezim Orde Baru, melainkan mengupas sisi manusiawi Wiji Thukul sebagai sosok yang tengah menjadi buronan dan harus meninggalkan istri dan kedua anaknya di Solo. Keresahan yang dirasakan Wiji Thukul diutarakan melalui larik-larik puisi yang ditulisnya selama di Pontianak.

Gunawan Maryanto, aktor yang memerankan tokoh Wiji Thukul apik melakoni peran seorang Wiji Thukul. Tidak meragukan kepiawaian akting Gunawan Maryanto yang merupakan seniman teater asal Yogyakarta berhasil menyuguhkan rasa cemas, takut, rindu, marah yang membelenggu Wiji Thukul berada di antara penonton. Hanya secarik kertas putih dan pensil serta penghapus karet gelang yang senantiasa menjadi teman setia menuangkan kegelisahannya melalui bait-bait puisi yang ditulisnya.

Saat Wiji Thukul melarikan diri ke Pontianak dan bersembunyi di rumah kawannya, rasa kecemasan dan ketakutan coba divisualisasikan melalui punggung dan tatapan nanar Wiji Thukul ketika makan bersama kedua kawannya di ruang tengah yang mana di ruangan tersebut tergantung sebuah lukisan The Last Supper. Pilihan sutradara menggunakan lukisan tersebut meluaskan peluang interpretasi mengenai misteri 13 aktivis yang masih hilang. Sebuah usaha “menolak lupa” yang terbilang cukup menarik.

Dijelaskan bahwa Wiji Thukul menyembunyikan diri di Pontianak selama delapan bulan lamanya demi meghindari aparat. Keberanian untuk menampakkan diri ke dunia luar dipaparkan secara bertahap dari adegan berpindahnya Wiji Thukul dari rumah ke rumah kawannya dan beraktivitas di luar rumah. Awalnya ia hanya berani keluar rumah saat malam hari saja tatkala diajak seorang kawan untuk membeli tuak, itu pun masih dihinggapi rasa takut terhadap kacang ijo (sebutan bagi tentara). Kemudian Wiji mulai memberanikan diri berbincang dengan kawan-kawannya di teras rumah.

Wiji mulai berani berkomunikasi dengan dunia luar, di antaranya ngopi di kedai kopi tepi Sungai Kapuas dan menghampiri seorang ibu yang anak bayinya tengah menangis untuk sekadar bertanya. “Bapaknya kemana, bu?” tanya Wiji Thukul. “Tidak tahu kemana, belum pulang-pulang,” jawab ibu tersebut. Hal itu cukup menggugah Wiji Thukul karena yang dialami oleh wanita yang ditanyainya tersebut berangkali dirasakan oleh istrinya Sipon yang ditinggalnya di Solo bersama kedua anaknya, Fitri dan Fajar Merah. Sisi manusiawi itulah yang coba diangkat oleh sang sutradara, Anggi Noen bahwa Wiji Thukul juga merupakan manusia yang tak luput dari rasa rindu pada keluarganya.

Dalam film tersebut, panasnya situasi politik saat itu digambarkan melalui siaran radio dan perbicangan orang-orang. Tidak ada demonstrasi, tidak ada pekikan suara para aktivis menuntut reformasi. Posisi Wiji Thukul sebagai pemimpin demonstran memang tidak dimunculkan. Hanya ada kesunyian dan sepi yang terasa selama pemutaran film. Sebab keseharian yang cukup menjenuhkan itulah yang menjadi fokus utama film tersebut.

Puisi-puisi Wiji Thukul yang mengisi sepanjang durasi film menghubungkan adegan demi adegan agar lebih didalami oleh penonton. Seperti judulnya, Istirahatlah Kata-kata memang minim kata-kata, namun puisi-puisi Wiji Thukul menggiring penonton untuk mendalami cerita. Karena tujuannya memang agar penonton dapat menginterpretasi setiap puisi yang dilafalkan lewat kata-kata dan memahami berbagai gejala yang dialami sang penyair. Ruang sepi itulah yang coba dihadirkan kepada penonton.

Rasa haru kental terasa tatkala menyaksikan adegan terakhir saat Wiji Thukul mengambil segelas air putih untuk sang istri yang tengah menangis. Wiji Thukul kemudian menawarkan lagi untuk mengambil segelas air putih di dapur lalu tidak pernah kembali lagi. Keberadaan Wiji Thukul bak teka-teki yang sulit dipecahkan hingga kini.

Film yang saya kira akan berjalan serius itu rupanya banyak disisipkan humor yang memunculkan gelak tawa penonton. Di balik humor yang dimunculkan sebenarnya memiliki makna yang coba diungkapkan sang sutradara. Misalnya saja, pada adegan saat Wiji Thukul sedang duduk di kamar sembari membaca buku kemudian datang kerabatnya yang merupakan seorang mahasiswa. Perbincangan tersebut sedikit membahas soal membaca dan keberanian bersuara. Lantas sang mahasiswa tersebut berceletuk, “maka dari itu saya memilih untuk tidak membaca agar terlepas dari beban untuk bersuara. Buat apa banyak-banyak membaca buku.” Jawaban mahasiswa itu sontak memunculkan gelak tawa juga sindiran yang cukup keras.

Dalam situasi yang genting pun Wiji Thukul masih menyempatkan diri berliterasi. Dialog antara Wiji Thukul dan mahasiswa tersebut cukup menampar saya sebagai mahasiswa, namun masih malas membaca dan takut bersuara ketika ada sesuatu yang salah. Widji Thukul adalah sastrawan yang berani, sosok yang tidak bisa diam melihat ketidakadilan dan menuntut adanya suatu gerakan untuk memusnahkan ketidakadilan tersebut.

Bagaimanapun, Istirahatlah Kata-kata patut memperoleh apresiasi. Sebuah cara lain menikmati puisi selain dibaca sebagai teks telanjang. Film ini sebagai bentuk penghormatan yang puitis kepada Wiji Thukul, seorang penyair yang melawan ketidakadilan melalui kata-kata juga seorang manusia yang bertahan di tengah tekanan yang teramat berat. Serta sebagai sebuah upaya dan pengingat akan nasib aktivis yang masih hilang dengan harapan menuntut agar negara serius mengurusi pekerjaan rumah yang belum menemukan penyelesaian. Setidaknya Istirahatlah Kata-kata mampu memperkenalkan Wiji Thukul kepada kita semua yang kian jauh dari buku dan sejarah.

Sepi yang Menyeruak

Sebenarnya aku tidak suka malam. Aku takut malam. Namun, setelah kurenungkan, bukan malam yang kutakutkan. Melainkan kesepian yang aku takutkan. Aku benci sendiri. Aku butuh orang lain. Ketakutan macam ini telah menjangkiti sejak awal kuliah. UKM dan teman-teman organisasilah yang menyelamatkanku dari jurang kesepian itu.

Di rumah aku  terbiasa dengan keluarga saat malam tiba. Aku tak pernah merasa sepi tatkala bersama mereka. Namun, apabila sedang di kos, ancaman rasa sepi itu kembali menyeruak. Aku takut. Lantas, aku lari ke UKM. Aku bertemu orang lain. Aku bisa tersenyum meski sedih. Aku bisa tertawa meski luka.

Tetapi kini berbeda. UKM masih seperti sedia kala. Orang-orang di dalamnya yang berubah. Mereka berubah. Mereka boleh sibuk dengan diri mereka sendiri. Sementara aku tidak boleh. Aku harus terus memahami. Tak pernah diberikan sedikitpun untuk dipahami.

Semua orang boleh sibuk dengan tugas kuliahnya. Semua orang boleh sibuk dengan skripsinya. Semua orang boleh sibuk dengan pergulatannya. Dan aku harus tetap memahami mereka.
Semua orang berubah. Kawan-kawanku pun berubah. Jika dahulu satu orang tak ada, maka semua diundur. Sekarang, satu orang tidak ada, maka akan tetap dilaksanakan. Bahkan sekarang mereka terbiasa pergi kemanapun tanpa aku. Padahal kadang sesuatu sering kuurungkan demi menuggu mereka, agar kita semua bisa.

Mereka sudah punya orang lain. Ya, orang lain yang lebih istimewa dan mungkin saja lebih bisa diandalkan daripada diriku ini yang payah. Bahkan di saat ada aku pun, mereka tidak mengajakku padahal aku tahu kemana mereka akan pergi. Aku pura-pura tidak tahu, tetapi sulit sekali menjadi orang yang berpura-pura tidak tahu. If you don’t have good intentions, please just leave me alone. I’m tired.

Aku Tidak Lagi Mengenalnya

“Kalau sudah ada orang-orang baru, apakah kau akan tetap baik padaku?” Ia menjawab, “tentu saja.” Seseorang mengatakan padaku setahun yang lalu. Namun nyatanya, semuanya tidak seperti yang kukira. Berbeda.


Boleh ku bilang ,malam tadi adalah puncaknya. Aku merasa ada yang berbeda di antara aku dan dia, sahabatku. Orang yang semester kemarin menjadi teman setiaku mengerjakan tugas-tugas akhir, orang yang rela berlelah-lelah mengantar dan menjemputku sampai kos, orang yang bijaksana dan peka tatkala aku ada masalah. Biasanya ketika aku duduk di sampingnya dengan menekuk mukaku, ia langsung berceletuk, “Kenapa Yun? Cerito.. cerito.. cerito..”


Semua itu musnah seketika. Aku masih menjumpai raganya, tetapi aku kehilangan sifatnya yang menghangatkan itu. Dia kini lebih hangat dengan orang-orang baru. Orang-orang yang selama ini enggan ia kenali. Bahkan dia jauh lebih hangat dengan kawanku, padahal aku yang terlebih dulu mengenal dirinya dibandingkan orang lain. Yaa.. aku senang dia saat ini mencoba bisa bersosialisasi dengan orang lain. Menjadi orang yang menyenangkan bagi orang lain. Namun, aku merasa dia sedang tidak menjadi dirinya sendiri. Lebih menyebalkannya, dia semakin jauh. Aku tidak lagi mengenalnya. Tingkahnya kian mirip dengan orang-orang baru itu. Tidak ada bedanya.


Mungkin inilah sebab mengapa orang-orang lama memilih pergi ketika orang-orang baru datang. Orang-orang lama barangkali merasa kawan seperjuangannya itu akan bersikap berbeda dan mulai meninggalkannya. Barangkali mereka merasa bahwa orang-orang baru lebih asik dan bergaul dengan orang-orang lama yang terlampau membosankan. Lebih pahitnya lagi, orang-orang lama akan terlebih dahulu meninggalkan sebelum ditinggalkan.


Aku lebih senang bergaul dengan orang ketika aku bisa menjadi diriku sendiri. Ketika humanis menjadi sosok standar seorang teman. Maaf sekali, aku mundur. Inilah diriku dengan segala hal-hal menyebalkan pada diriku. Semoga kamu bahagia dengan orang-orang baru. Dan aku harap dia kembali menemukan dirinya sendiri.

Manusia Tulus kah Dirimu?

Entah kenapa akhir-akhir ini aku mudah sekali menangis. Lho, bukankah diriku memang tipe orang yang mudah menangis. Aku silakan kalian menyebutku cengeng. Ya memang inilah diriku. Daripada keluh kesahku ku limpahkan dengan misuh-misuh, seringkali seluruh keluh kesahku melebur menjadi tetes-tetes air mata yang mengalir tanpa diminta.

Barangkali aku terlalu capek dengan masalahku, tepatnya pada rutinitasku. Sebenarnya bukan masalah, melainkan banyak kesibukan yang menyita waktuku. Rasa capek itulah kadang membuatku mudah terbawa perasaan; mudah perasa. Sesungguhnya diriku lelah menjadi manusia yang mudah perasa.

Terkadang, aku masih saja mempertanyakan pada diriku sendiri. Mengapa masih ada orang yang percaya padaku; memberikan amanah padaku. Bukan maksudku untuk mengeluh, tapi mereka tahu bahwa aku bukan sepenuhnya orang yang benar-benar kuat seperti yang mereka lihat. Aku sedang berusaha menutupi kesedihanku. Padahal masih banyak orang lain yang tersisa di sana. Mengapa harus aku? Bukankah mereka juga layak dipercaya?


Dan yang paling membuatku gelisah belakangan (dua tahun) ini adalah salah seorang temanku. Aku pernah mengira mungkin dia satu-satunya orang yang paling tulus yang aku kenal. Namun, belakangan ini aku berpikir ulang apa mungkin orang yang tiap ku mintai tolong selalu sulit ini adalah temanku? Manusia yang benar-benar tulus? Aku terus berusaha menyangkal asumsi aneh dari pikiranku. Mulai detik ini harusnya aku sudah mulai sadar. Dia bukan manusia tulus yang aku tunggu. 

Pemakluman yang Berulang

Malam Ramadhan ke-25. Aku telah tiba kampung halaman. Sejak kepulanganku siang tadi menggunakan kereta dari Semarang. Lega rasanya. Setelah seminggu lebih bergelut dengan tugas-tugas ujian akhir semester, akhirnya semesta mengizinkanku menghirup udara segar setelah beberapa minggu terakhir merasakan sesak napas akibat tugas-tugas akhir bikinan dosen-dosen terhormatku itu. Sebenarnya aku sudah bisa kembali ke kampung halaman sejak Selasa kemarin, namun tanpa diduga salah satu dosen mengundurkan jadwal ujian. Aku harus merelakan kepulanganku pada hari Rabu. Di luar alasan itu, ada alasan lain mengapa aku memutuskan pulang hari Rabu. Alasanku adalah dia. Aku menyebutnya Petir. Tiba-tiba saja aku ingin memplesetkan namanya menjadi Petir. Dan itu terlintas saja di pikiranku.

            Manusia mudah dilanda bosan dan kesepian barangkali. Beberapa dari mereka belum bisa berdamai dengan rasa kesepian. Jika manusia bisa berdamai dengan kesepian, ia tidak akan merasa bergantung dengan benda bernama ponsel. Tanpa kecuali diriku sendiri. Aku sering mengutuki orang-orang yang tiap detik sibuk dengan ponselnya, bak mengidap autis. Nyatanya, aku sendiri masih sangat bergantung pada benda yang saat ini mengalihkan perhatian orang-orang dari buku. Ya.. ponsel telah mengalahkan eksistensi buku. Kita akan mudah menemukan orang memainkan ponsel dibandingkan membaca buku. Persis pemandangan yang biasa ku lihat di kereta. Sangat sulit menemukan orang yang sedang menunggu membunuh kebosanannya dengan membaca. Tapi, aku bersyukur, tadi siang aku masih melihat salah seorang penumpang kereta yang duduk di sampingku membaca sebuah novel di antara ratusan penumpang yang sibuk dengan gadget, ngobrol, dan tidur di kereta. Lantas, aku ingat sebuah buku yang ku pinjam dari kakak tingkatku karya Setyaningsih yang berjudul “Dari Buku Berakhir Telepon.” Buku yang berisi kumpulan esai mengenai hal-hal sederhana yang tidak kita sadari diungkapkan dan dianalisis secara rinci dan tidak terduga.

            Saat malam tiba dan kebosanan menyerangku, aku segera mencari dan membuka ponselku. Beberapa notifikasi dan pesan menyerbu untuk meminta dibaca. Salah satu dari pesan tersebut berisi deadline tulisan yang harus aku rampungkan untuk majalah kampusku. “Kau harus menyunting kembali tulisanmu yang terlalu kaku,” begitu yang disampaikan pimpinan redaksi majalah tersebut padaku malam lalu. Sebelum menyunting, aku pergi ke dapur mengambil sebuah gelas kosong untuk ku buat segelas cappucino sebagai teman menulisku. Cappucino yang sudah bisa segera ku teguk itu, aku bawa ke ruang tamu. Malam ini aku ingin menulis di ruang tamu sehingga aku bisa mendengar jelas lantunan ayat-ayat suci yang dilantunkan anak-anak yang tengah mengaji di masjid depan rumahku. Ah, jadi teringat masa kecilku. Dahulu aku juga seperti mereka. Selepas tarawih, aku dan teman-temanku membaca Quran di masjid. Ayat-ayat suci yang ku lantunkan dengan pengeras suara terdengar hingga ke telinga nenekku yang rumahnya agak jauh dari rumahku, tetapi satu desa denganku. Kata bulekku, nenek bangga mendengar cucunya sejak kecil pandai mengaji.

            Cappucino itu terus ku pandangi sebelum ia larut dalam kerongkonganku. Sial, aku teringat seseorang yang gemar minum kopi. Beberapa hari kemarin, baru saja ku buatkan dia segelas kopi hangat. Petir memang gemar kopi. Beberapa kali kami menikmati kopi bersama. Menurut pengamatanku, ia memang pecinta kopi. Dari kopi kemasan hingga kopi yang memang benar-benar diracik dengan rumit ia sukai. Dia pernah mengatakan padaku saat dia mengantarkanku kuliah bahwa ia juga menyukai kopi hitam. Saat itu aku masih ragu mendengar jawabannya. Setelah malam-malam yang kami lalui bersama dengan ditemani kopi, keraguan itu perlahan pudar. Aku percaya ia menggemari kopi seperti aku percaya pada segala ucapannya.

            Namun, kepercayaan yang aku bangun padanya berbulan-bulan lamanya itu perlahan memudar. Beberapa kali aku harus menelan kekecewaan akibat janji yang ia buat. Aku pulang membawa beberapa janji yang masih aku tunggu ia tuntaskan. Petir berjanji menemuiku siang itu di suatu tempat kami biasa bertemu. Siang itu, mentari terik sekali. Aku percepat langkah kakiku menuju tempat yang kami janjikan. Dia sangat perhitungan waktu bila bersamaku dibandingkan dengan yang lain, begitu juga aku. Selepas ujian, aku bergegas menuju tempat yang kami janjikan. Tiba di sana, tidak ku dapati batang hidungnya. “Mungkin ia terlambat,” pikirku menghibur diri. Aku membuka komputer jinjingku. Ku lihat beberapa note berisi tugas akhir yang menuntutku untuk dikerjakan. Semestinya, waktu yang luang saat itu bisa aku gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas akhirku, tetapi aku memilih bertemu dengan Petir. Satu jam berlalu. Aku tak kunjung melihat tanda-tanda kedatangannya. Ponselku berdering. Sebuah pesan masuk. Pesan dari Petir yang mengatakan bahwa ia tidak bisa menemuiku karena ada kuliah. Aku (harus) memakluminya. Tidak apa, waktu yang semestinya bertemu Petir aku gunakan untuk mengerjakan tugas akhir sampai aku tertidur di tempat itu, mengobati kantuk dan lelah yang ku rasakan. Andai ia tahu.

            Aku meneguk cappuccino yang terpaku di depanku. Rasa manis cappuccino tidak mampu mengganti rasa pahit kekecewaan yang Petir torehkan lagi. Kami berdua berjanji kembali untuk bertemu di tempat itu lagi. Aku datang lebih awal pukul 8 malam. Kali ini niatku adalah mengerjakan tugas akhir yang harus segera dirampungkan. Niat yang ku ubah itu tiada lain supaya aku tidak terlalu kecewa bila Petir mengingkari janjinya lagi. Seorang laki-laki yang telah aku anggap sebagai kakak pernah berkata padaku, kalau kamu tidak ingin kecewa, jangan pernah berekspektasi. Aku mematuhi perkatannya. Ponselku kembali berdering. Sebuah pesan masuk dari Petir. Ia akan datang pukul 10 malam. Timbul secercah cahaya pengharapan. Aku menunggunya. Sengaja aku mempersiapkan segelas kopi yang siap ku seduh bila ia datang. Pukul setengah sepuluh malam, Petir mengirimku pesan. Ia tidak bisa datang dengan alasan lelah karena seharian beraktivitas. Darahku seakan berhenti mengalir. Air mataku aku tahan agar tidak jatuh. Aku sengaja tidak membalas pesannya. Lagi-lagi aku merasa bodoh tertipu olehnya. Aku sepertinya harus membenarkan ucapan temanku yang juga teman Petir. “Jangan pernah berikan kepercayaanmu pada Petir seratus persen. Cukup sepuluh persen,” katanya.

            Aku tidak bisa pungkiri, aku kecewa pada Petir. Sebagai wanita, aku ingin dimengerti. Aku pun sadar bahwa aku juga harus memahami Petir. Barangkali dia memang tidak benar-benar sengaja mengingkari janjinya. Aku mencari informasi alasan Petir tidak bisa datang menemuiku. Seorang teman dekat Petir mengatakan, Petir menjadi salah satu panitia acara yang acaranya dilaksanakan dan berakhir petang tadi. Aku berpikir, barangkali Petir memang lelah karena menjadi panitia acara dan malamnya harus menunaikan janjinya bertemu denganku. Alangkah kejamnya aku jika tetap memaksanya menemuiku malam itu. Aku memakluminya lagi. Meskipun aku tidak bisa menampik kekecewaanku pada Petir.

            Berhari-hari setelah peristiwa itu, kami tidak saling berhubungan melalui telepon. Aku malas menghubunginya ataupun merespon segala hal tentangnya. Hingga beberapa hari kemudian kami dipertemukan dalam agenda yang sama. Aku sengaja hadir terlambat. Tiba di tempat itu, ku lihat telah banyak orang yang hadir termasuk Petir. Aku mengetuk pintu dan segera duduk mengelilingi meja besar di ruangan berisi tumpukan kertas itu. Ketukan pintu yang ku ketuk agak keras nyatanya tidak mengalihkan pandangannya terhadapku yang baru saja datang. Aku melihat Petir tengah asik dengan komputer jinjingnya dan teman ngobrolnya. Lebih jahatnya, dia tidak sekilaspun melirik kedatanganku. “Oh, mungkin dia tidak merasa bersalah sama sekali. Baiklah, tak apa.” batinku.

            Saat itu Petir juga tengah asik bercengkrama dengan seorang perempuan yang usianya satu tahun lebih tua darinya. Aku tahu tidak ada apa-apa di antara mereka. Rasanya aku tidak ingin mendengar suara obrolan mereka. Untuk menghindari mereka berdua, aku beranjak dari tempatku. Aku memilih (berpura-pura) menyibukkan diri menonton film dari layar komputer. Tidak lama kemudian, Nani menghampiriku dan duduk disampingku. Kami nonton bareng untuk mengalihkan perhatianku agar tidak terlalu peduli pada segala tindak-tanduk Petir saat itu. Nani adalah teman dekatku yang periang. Segala sesuatu yang dia lakukan selalu dijalani dengan riang dan semangat. Aku salut padanya. Nani adalah temanku sekaligus teman Petir, walaupun Petir lebih dahulu mengenal Nani dibanding aku.

            Aku dan Nani tertawa menyaksikan adegan lucu dalam film. Tertawa keras kami menimbulkan orang-orang di sekitar kami melirik kami. Salah satu di antara mereka bangkit lalu menghampiri kami berdua.

            “Film apa nih, Nani?” tanya Petir yang menghampiri aku dan Nani yang tengah asik nonton film di layar komputer. Pertanyaan Petir memang diajukan pada Nani, namun bola mata dan senyumnyanya mengarah padaku. Aku tahu, ia sedang berusaha berdamai denganku. Nani merespon ucapan yang dilontarkan oleh Petir. Sementara aku diam. Tatapanku sengaja tetap ku arahkan pada layar komputer tanpa menghiraukan Petir. Melihatku responku yang datar. Petir sontak mengambil mouse yang sejak tadi dalam genggaman tanganku. Ia mendekatkan badannya ke arahku seraya melontarkan lelucon super garing agar aku tersenyum.

            Karena perasaan iba melihat usahanya berdamai denganku, aku membalas ucapannya dengan senyuman dan sesekali tertawa renyah. Aku tatap matanya. Kedua mata Petir berbinar. Jujur, aku sangat suka memandang kedua matanya yang seakan berbicara padaku. Aku adalah perempuan yang lebih percaya tatapan mata dibandingkan rangkaian kata. Jika dahulu aku yang tidak pernah bisa menatap balik mata Petir saat ia menatapku, belakang ini Petir lah yang sering mengalihkan padangannya saat aku menatapnya. Percayalah, tatapan kami hanya sebatas tatapan biasa dua anak manusia.

            Kekecewaan yang aku rasakan selalu sirna di penghujung garis senyumannya yang melengkung indah di wajahnya. Aku heran, aku juga sebal pada diriku sendiri, kenapa tidak bisa meluapkan amarahku padanya. Bagaikan gelas penuh air yang tinggal menunggu saatnya tumpah. Jangan pernah lelah menghadapiku. Seringkali aku lupa bahwa aku tidak ada apa-apanya tanpanya. Waktu dan peristiwa yang kita lalui bersama membuktikannya. Semoga selalu ada kesabaran yang Tuhan berikan untukku, untuk kita.

Buscar

 

Labels

About

Ma Petit Histoire Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger