Terperosok ke Esai


Sebetulnya mudah untuk menjawab pertanyaan, “Sudah dapat apa yang kamu inginkan di BP2M, Yun?” Saya akan menjawab dengan enteng, “Tentu sudah,” karena niat awal bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa BP2M hanyalah ingin mengenakan seragam dinas BP2M. Sekarang saya sudah memperoleh seragam berwarna hitam itu dan bisa kukenakan kapanpun saya ingin. Heheu.

Jadi begini, setelah mengikuti serangkaian proses, saya dan kawan-kawan seangkatan pun resmi magang di BP2M. Tentu untuk menjadi anggota BP2M yang sedikit cetho, kami pun dilatih sejak dini mulai dari teknik wawancara hingga teknik menulis. Kegiatan pelatihan itulah yang membawa saya bertemu sosok M. Irkham Abdussalam, Litbang terkeren yang pernah saya kenal.

Seminggu sekali, Mas Irkham mengadakan kelas menulis yang ditujukan khusus untuk kami (magang BP2M) dan diinstrukturi langsung oleh Bang Yasir atau kami biasa memanggilnya Om Sukamoto. Kami boleh menulis apa saja di sana. Om membebaskan kami untuk menulis apa saja yang kita mau lalu membedahnya bersama-sama. Biasanya dua tulisan terbaik akan diberikan penghargaan berupa buku yang tidak jauh-jauh dari judul ‘Altar Agung.’

Namun, kelas menulis bersama Om Sukamoto hanya bertahan di beberapa bulan saja. Hal tersebut dikarenakan hanya beberapa orang saja yang berangkat. Pernah suatu kali kelas menulis tersebut hanya dihadiri oleh saya dan kawan saya Teguh. Meskipun hanya dihadiri dua orang, Om Sukamoto tetap menyambut kami. Saya dan Teguh diajak berdiskusi sembari menonton pertandingan tinju di televisi hingga larut. Untung saja, gerbang Unnes belum seketat sekarang. Tidak ada jam jenguk seperti sekarang. Jadi, pukul 12 malam lebih pun kami masih bisa pulang ke kos.

Mulai beranjak dari magang menjadi anggota. Om Sukamoto menggagas kelas menulis khusus yang mana pesertanya adalah anggota BP2M khususnya angkatan saya yang dipilih oleh Om Sukamoto. Klub menulis yang digagas oleh Om Sukamoto diberi nama “New Academia” yang beranggotakan Lalu Jazidi, Teguh, Lina, dan saya sendiri. Kegiatan yang kami lakukan tiap minggu pun sama yakni berdiskusi lalu output yang dihasilkan berupa sebuah tulisan. Nah, hasil tulisan tersebut bisa kami unggah di blog pribadi milik masing-masing.

Karena niat awal hanya ingin mengenakan seragam BP2M saja, di tengah perjalanan saya pun bingung. Saya sudah mendapatkan seragam yang saya mau, di sisi lain saya pun mulai lancar menulis berita karena tiap hari berkutat dengan jenis tulisan semacam itu. Lantas, apa yang perlu saya cari lagi di BP2M?

Pada tahun 2016, saat itu adalah masa kepemimpinan Mas Irkham sebagai Pemimpin Umum Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M). Pada waktu itu, Mas Irkham sedang gemar-gemarnya membaca dan menulis. Tiap obrolannya pun tak jauh-jauh dari resensi buku dan esai.  
Sebetulnya sejak masih magang, saya tidak ada niat untuk belajar menulis esai. Berbeda dengan Teguh, niat awalnya bergabung BP2M yakni ingin tulisannya dimuat di surat kabar. Saya sering memperhatikan Mas Irkham dan Teguh, keduanya bila membaca koran, rubrik yang paling mereka cari adalah rubrik opini. Sementara saya sendiri cenderung melewati rubrik opini di surat kabar.

Dari awal magang saya memang cukup betah berlama-lama di kantor redaksi BP2M, entah hanya numpang cari wifi sembari nunggu jam kuliah berikutnya. Pun malam harinya, saya kembali melakukan aktivitas di UKM, entah rapat redaksi maupun sekadar mengerjakan tugas kuliah. Saking seringnya main ke kantor redaksi, otomatis setiap hari saya bertemu Mas Irkham. Di sela-sela waktu, Mas Irkham seringkali melontarkan ucapan agar saya bereaksi untuk menulis, juga terus mengajak saya ngobrol apapun yang cenderung menggiring saya dan adik-adiknya di BP2M untuk berliterasi.

“Aku abis baca buku bagus lho, Yun!”
“Iki Cah Kentingan sing tulisane terbit terus di SoloPos. Kamu gak pingin Yun?”
“Kamu boleh pinjam bukuku, asalkan setelah kamu baca, segera diresensi terus unggah di bp2munnes.org ya! Wajib! Aku meh moco tulisanmu.”
“Baca esai di website ini deh, Yun.. Wapik tenan!”

Yaa begitulah, ucapan-ucapan yang sering dilontarkan Mas Irkham dahulu kala. Setiap hari saya dan angkatan saya selalu dicekoki ihwal esai dan buku. Tujuannya baik, agar kami mau membaca buku dan menulis. Mas Irkham tidak ingin kami jadi orang yang pikun karena jarang membaca.

Menurutku cara didikan Mas Irkham untuk adik-adiknya sungguh unik. Dia tidak pernah mengajarkan secara teknis teknik menulis esai. Cara Mas Irkham unik, dia selalu mengklipingkan selembar esai atau resensi yang menurutnya bagus untuk diberikan pada saya agar dibaca. Saya akui, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya memang terdengar magis. Hingga mampu menggerakan adik-adiknya untuk membaca dan menulis. Sebut saja kawan saya Lalu Jazidi, si maniak anime itu bisa menjadi seorang pembaca tekun. Ia mampu mengkhatamkan beberapa buku dalam satu hari.

Mas Irkham pun mampu membuat saya tergerak untuk coba-coba menulis esai lalu mengirimkannya ke surat kabar. Sebagaimana definisi esai menurut Gus Dur yakni sebuah tulisan yang coba-coba. Namanya juga baru coba-coba menulis, dua kali mengirimkan opini ke Tribun Jateng, hasilnya belum berhasil lolos terbit. Ketiga kalinya, saya coba menulis esai tentang Idul Adha lalu saya kirim ke Tribun Jateng. Syukur Alhamdulillah, tulisan ketiga yang saya kirimkan itu diterbitkan di surat kabar Tribun Jateng. Betapa kagetnya Mas Irkham mendengar kabar itu. Hahaha.

Kabar terbitnya tulisan saya di Tribun Jateng cukup menggemparkan BP2M khususnya angkatan saya kala itu. Karena pada saat itu, hanya seniorlah yang tulisannya sering terbit di media massa. Di sisi lain kala itu angkatan saya dianggap angkatan yang ‘kurang vokal’. Sehingga terbitnya tulisan di media massa sekaligus ingin menunjukkan bahwa angkatan saya pun bisa keren seperti kakak-kakak di BP2M.

Tidak berselang lama, BP2M kembali gempar oleh kabar bahwa esai Teguh, kawan seangkatan saya, berhasil terbit di surat kabar. Dilanjutkan oleh Annisa Lufi (AL) yang paragraf argumentasinya berhasil nampang di rubrik Kompas Kampus. Hal itu semakin membuat Mas Irkham dan Om Sukamoto kian bersemangat mengajak kami untuk sinau esai lebih dalam.

Selang kepergian Mas Irkham, akhir tahun 2017 saya coba-coba ikut PJTLN di Bali dengan mengirimkan sebuah esai bertema “Pers dan Hoax.” Alhamdulillah, saya berhasil lolos seleksi namun kesempatan itu tidak saya ambil karena orangtua tidak mengizinkan saya berpergian sendiri ke Bali. Sehingga kesempatan itu saya berikan ke kawan seangkatan saya Imron. Dia berkenan menggantikan saya mengikuti PJTLN Bali Journalist Week.

Jujur saja, mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional adalah keinginan saya sejak masih jadi magang BP2M. Kala itu, Mas Irkham pernah bercerita tentang dua orang delegasi BP2M yang berangkat ke Makassar untuk mengikuti PJTLN.

Namun, Tuhan berkehendak lain. Awal tahun 2018, saya mendapat pengumuman lewat pesan WhatsApp grup BP2M bahwa akan diselenggarakan PJTLN di Makassar. Syarat seleksinya adalah mengirim sebuah esai bertema “Mahasiswa dan Tahun Politik.” Karena satu LPM dibatasi hanya boleh mengirimkan dua delegasi, maka saya turut mengajak kawan seangkatan saya yakni Lalu Jazidi untuk mengikuti kegiatan ini. Alasan saya mengajaknya adalah 1) saya butuh teman, belajar dari sebelumnya bahwa Ayah saya khawatir bila anak perempuan berpergian jauh sendirian, 2) Lalu adalah mahasiswa Politik, tentu dia akan luwes menulis esai tentang Mahasiswa dan Politik, 3) Lalu sudah pernah naik pesawat, jadi saya tidak perlu khawatir akan tersesat karena saya belum pernah naik pesawat.

Namun, seminggu sebelum ditutupnya seleksi tulisan yang masuk. Lalu tidak kunjung mengirimkan esai. Akhirnya saya memutar otak, saya pun mengajak Teguh karena dia juga adalah mahasiswa Politik. Tawar menawar pun dilakukan karena awalnya saya tidak mengatakan tentang PJTLN di Makassar. Saya hanya mengatakan, kalau ingin jalan-jalan di Makassar, segeralah kirim esai bertema “Mahasiswa dan Tahun Politik.”

Rupanya tidak hanya saya dan Teguh yang mengirimkan esai dalam rangka PJTLN di Makassar. Dua adik kami di BP2M yakni Fiskal dan Royyan pun juga mengirimkan esai. Mereka juga ingin mengikuti PJTLN di Makassar. Namun, satu LPM hanya boleh diwakili maksimal oleh dua orang saja. Tiba di hari pengumuman seleksi, nama saya dan Teguh muncul di situs daring LPM Profesi bahwa kami lolos untuk mengikuti PJTLN tahun 2018.

Singkat cerita, di akhir penutupan kegiatan PJTLN di Makassar yang bertajuk PINISI 2018, panitia memberikan penghargaan dalam dua kategori, antara lain kategori peserta teraktif dan kategori esai terbaik.  Puji syukur saya memperoleh penghargaan kategori esai terbaik dalam kegiatan PINISI 2018 di Makassar.

Usai menerima sertifikat penghargaan dari panitia, saya masuk ke kamar untuk berkemas-kemas pulang kembali ke Jawa. Di sela-sela waktu, saya memandangi sertifikat bertuliskan “esai terbaik” secara lekat-lekat. Tiba-tiba saya rindu Alm. Mas Irkham, saya teringat ketika Mas Irkham berhasil menyabet gelar esai terbaik dalam sayembara menulis esai tentang R.A. Kartini. Kala itu, saya cuma bisa mikir, “Kapan ya bisa dapat kategori esai terbaik seperti Mas Irkam?”

Dan ketika saya telah berhasil memperoleh apa yang saya inginkan dahulu, saya belum bisa menunjukkannya ke Mas Irkham karena Almarhum telah pergi meninggalkan kami lebih dulu. Sampai saya tua nanti, saya akan tetap mengingat Mas Irkham sebagai kakak terhebat yang pernah saya kenal. Saya sangat merasa kehilangan karena saya tidak memiliki kakak kandung dan Mas Ikrham hadir sebagai kakak yang sangat ngemongi adeknya di BP2M. Semoga Almarhum beristirahat dengan tenang di surga bersama buku-buku.

¡Compártelo!

0 komentar:

Posting Komentar

Buscar

 

Labels

About

Ma Petit Histoire Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger