Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh

Supernova.. Supernova.. Supernova..
            Menyenangkan mungkin jika supernova memang benar-benar ada. Kita bisa minta saran dari orang lain, bisa punya tempat curhat, tapi lebih enak curhat sama Tuhan karena Tuhan selalu memberikan pertolongan baik kita minta atau pun tidak. Yaelah, ini aku pasti demam film Supernova. Abisnya tuh film keren, romantis, kocak, dan yang pasti ada nilai pelajaran yang dapat diambil.
            Film Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh merupakan visualisasi novel Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh karya Dee Lestari. Aku tahu novel ini sejak bang Junot ngumumin kalo dia bakal main di sebuah film yang bersumber dari novel milik Dee, yakni Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Semenjak tahu kalo dia bakal meranin salah satu tokoh di novel tersebut, aku langsung cari novelnya di Gramedia. Nah, aku baca novelnya. Gilak! Isinya sains banget.
            Waktu baca novelnya masih agak bingung alurnya gimana, tapi setelah nonton filmnya, aku jadi tercerahkan. Terima kasih Pak Sunil Soraya, bang Junot, bang Fedi, kak Raline, kak Paula, dan crew yang lain. Bagian yang menyentuh saat Arwin (Fedi Nuril) memeluk Rana (Raline Shah) sambil mengatakan bahwa dia sangat mencintai Rana meskipun Rana mencintai Ferre (Herjunot Ali) dan adegan saat Ferre memegang pistol yang diarahkan ke mulutnya sendiri dengan meluapkan amarahnya karena takdir yang menimpa dirinya. Coba deh nonton filmnya, aku aja netesin air mata. Tapi, kalo masalah menyentuh lebih gregetan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karena di film itu aku merasa jadi Zaenudin yang sebatang kara. Huhuhu hiks!
            Ternyata film Supernova gak sedikit ada unsur lawaknya. Dari mulai adegan percintaan sepasang homo yaitu Reuben & Dimas, Ale yang gak kedip liat Diva, Rana yang mengatakan ke Ferre bahwa cita-citanya saat kecil adalah jadi bintang film, dan adegan Ferre  kesel ketika menerima telpon dari sekretarisnya bahwa dia akan diwawancara oleh majalah wanita yang ujung-ujungnya bertanya kapan Fere menikah.
Sepenggal dialognya intinya begini, “Saya malas diwawancara oleh majalah wanita. Palingan nanya kapan nikah? Saya jawab wanita beruntung yang mendapatkan saya. Saya juga gak kenal wanita beruntung itu siapa. Ujung-ujungnya gosip.”
            Adegan-adegan yang gak kuduga adalah sewaktu Ferre mandi pakai shower. Heran deh, gantengnya gak ilang. Hahaha.  Adegan tak terduga berikutnya adalah saat Arwin dan Rana di ranjang. Gak nyangka seorang Fedi Nuril yang tampan, mapan, dan beriman bisa seprofesional itu melakukan perannya sebagai suami. Pokoknya aku suka adegan-adegan romantis Arwin dan Rana di ruang tv, ruang makan, dalam mobil, apalagi ranjang. Huahahak! AAAAAKKK sejak film 5cm, aku memang jatuh cinta sama couple ini. Pas!
            Bang Junot tiap berdialog kayak baca puisi. Dan itu yang bikin demen. Setiap berdialog terdengar jelas unsur-unsur suprasegmentalnya (Efek abis UAS Fonologi).  Agak bête sih pasti bang Junot jadi orang ketiganya bang Fedi & kak Raline. Bang Junot makin ganteng kalo rambutnya gak klimis-klimis banget kayak waktu meranin Zaenudin. Waktu Ferre (Herjunot Ali) berangkat kerja, rambutnya selalu klimis, itu kan gaya rambutnya Zaenudin. Pelajaran yang dapat dipetik dari tokoh Ferre adalah ketika dia bisa bangkit dalam keterpurukkan. Boleh-boleh saja memiliki ambisi tapi dalam batas wajar dan tidak melampaui realita. Sosok seorang Fere hebat loh, kesuksesan yang dia dapat karena kerja kerasnya sendiri meskipun dia tidak memiliki keluarga yang harmonis dan utuh seperti Arwin & Rana.
            Dari sosok Rana, aku belajar bersyukur atas apa yang sudah aku miliki. Rana yang sudah memiliki suami super mapan dan super tampan seharusnya bersyukur dan berusaha menghargai ketulusan suaminya. Kalau kita sudah memilih atau mengambil suatu keputusan, maka kita harus menerima konsekuensinya pula. Sifat Rana yang penurut dengan orangtua juga perlu dicontoh loh! Dia mematuhi dan melaksanakan segala keinginan orangtuanya agar mereka bahagia walaupun sebagian keinginannya membuat Rana tersandera.
            Tokoh yang paling mencuri perhatian dan paling sabar adalah Arwin. Arwin yang diperankan oleh Fedi Nuril ini berperan sebagai suami dari Rana. Arwin berasal dari keluarga priyayi Jawa yang memandang perceraian sebagai sebuah aib yang besar. Arwin sangat mencintai Rana, sementara Rana mencintai Ferre karena Rana berpikir Ferre adalah pria yang mencintainya dengan tepat. Makin salut dengan tokoh Arwin saat dia merelakan Rana istrinya memilih pria lain atau tetap bersama dirinya. Jarang-jarang nih ada orang yang rela merelakan orang yang teramat dicintainya untuk orang lain demi melihat orang yang dicintainya itu bahagia. Btw, aku lagi belajar dari tokoh Arwin bro! Halah, lupakan.
            Diva adalah tokoh yang bikin kepalaku puyeng dengan dialognya yang mengandung turbulensi, chaos dan galaksi. Tokoh Diva ini ngajarin aku bahwa hidup jangan hanya memandang sisi hitam dan putih saja. Diva ini berprofesi sebagai model papan atas sekaligus pelacur, tapi disaat dia sedang melayani tamu-tamunya tak jarang pembicaraannya seperti motivator sehingga tidak sedikit para tamunya menyadari kesalahannya. Diva adalah wanita yang memiliki intelektual tinggi sehingga para tamu yang membookingnya karena ingin menjadikannya sebagai teman diskusi. Penghasilan yang didapatnya digunakan untuk membantu kalangan yang tidak mampu.
            Cuman, karakter Ale yang kata pemerannya Ale merupakan tokoh yang suka nasihatin Ferre dengan marah-marah gak ada. Ale di film ini hanya sebagai sahabat lucunya Ferre dan gak keliatan karakter playboynya yang dilukiskan di dalam novel. Overall, this film is amazing! Bikin nagih untuk nonton berkali-kali. Coba nonton filmnya deh!

Aku Memang Sial

Ketika kamu berbuat baik jangan pernah berharap kamu mendapat balasan setara dengan kebaikan yang kamu lakukan. Itu salah besar! Tidak semua kebaikan dibalas dengan kebaikan. Kalau kejahatan dibalas kejahatan itu jarang, tetapi kalau kebaikan dibalas bukan dengan kebaikan pula itu sering terjadi. Dan sial, aku baru menyadarinya.

            Hari ini mungkin bisa dibilang hari tersial yang menimpaku. Aku menyesalkan mengapa semua orang di sekelilingku tidak bisa membalas sedikit saja kebaikan yang aku lakukan pada mereka. Apakah mereka tidak mengingat setiap kebaikan yang pernah dilakukan orang lain? Lalu kenapa aku diciptakan oleh Tuhan untuk selalu mengingat kebaikan orang lain? Aku iri pada mereka yang apabila dibantu oleh orang lain langsung bisa melupakan kebaikan itu. Mengapa aku tidak bisa? 
            Untuk lebih spesifiknya, kejadian yang aku alami saat kuliah sore tadi. Masing-masing kelompok diperintahkan untuk membawa makalah hasil karya kelompok masing-masing. Aku membawa makalah hasil karyaku karena memang itu adalah hasil karyaku, hasil tanganku sendiri bukan hasil tangan teman-teman kelompokku. Mereka tidak peduli. Walaupun begitu, aku tetap menuliskan nama mereka di makalah karena aku peduli dengan mereka. Ketika dosen menanyakan mengenai referensi makalah tersebut, aku segera menjawab. Sebenarnya aku tidak ingin menjawab, tetapi aku merasa bertanggung jawab dengan makalahku, maka aku memutuskan menjawab ketika semua teman sekelompokku hanya bisa diam. Semua kelompokku hanya bisa diam tidak ada empati untuk membantuku menjawab pertanyaan dari dosen yang terus memojokkanku. Apakah mereka tidak merasa tugasnya terselesaikan berkat kerja kerasku? Bukannya aku butuh balasan, tetapi setidaknya mereka membantu menjawab pertanyaan dari dosen tersebut. Sumpah, aku kecewa banget dengan mereka. Aku benci dengan diriku sendiri.
            Malam harinya, dua orang teman satu kosku mengajakku mencari WiFi di kampus. Sebut saja kedua temanku itu dengan Bulan dan Mentari. Aku mengiyakan. Sampai disana kami duduk di depan gedung B3 karena WiFi sangat lancar disana. Mereka tahu kalau baterai laptopku cepat sekali habis. Beberapa menit kemudian baterai laptopku habis. Aku meminta mereka untuk menemaniku pindah ke Gazebo karena disana ada colokan listrik.
“Baterai laptoku habis. Mau nggak pindah ke Gazebo?”
“Kamu aja sana sendirian. Ntar kalo udah penuh kesini lagi.” Sahut Mentari.
“Yahh.. sendirian dong. Disana rame banget. Temenin dong.”
“Nanggung nih lagi WiFinya lancar banget.” Jawab Bulan yang sibuk dengan laptopnya.
            Akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Aku tidak ingin emosiku meluap disana. Sampai di kos pun aku tidak bisa menceritakan kejadian ini kepada teman kos yang lain. aku beruntung bisa numpahin semuanya di blog ini.
“Aku pulang dulu ya. Baterai laptop habis.” Kataku sembari tersenyum.
“Loh?” sahut Bulan dan Mentari berbarengan.
            Aku bergegas pergi berusaha menahan emosi. Pandanganku tertuju kedepan. Aku tak ingin melihat ke belakang. Aku ingin segera sampai di kos. Aku ingin segera melaksanakan shalat Isya dan menceritakan semua yang terjadi hari ini pada Yang Maha Adil. Aku harap Tuhan berpihak padaku. Aku meminta pada-Nya agar diberikan seorang teman yang benar-benar manusia.
“Yun, tumben cepet banget WiFi-annya.” Sambut Pelangi yang sedang asik menonton televisi di ruang tamu kos-kosan.
“Iya, baterai laptop habis.” jawabku sembari tersenyum menyembunyikan bom emosi yang sebentar lagi meledak.
“Kan ada colokan disana.”
“Gak ada yang mau pindah. Udah nyaman katanya.” Jawabku.
“Siapa? Mbak-mbak kakak tingkat yang lagi WiFi-an ya?” Tanya Pelangi.
“Ngg.. Iya.” Jawabku berbohong.
            Aku benci hal seperti ini. Mereka lupa bahwa aku pernah membantunya saat baterai laptop mereka habis. Kejadian itu beberapa minggu yang lalu. Saat kami bertiga mencari WiFi di depan perpustakaan. Sampai disana, baterai laptop mentari tinggal 20%. Jika tidak segera dicas laptopnya akan mati dan dia tidak bisa browsing. Sedangkan semua colokan listrik sudah penuh dengan kabel milik mahasiswa yang sudah sejak tadi berada disana sebelum kami datang. Kami duduk disamping seorang mahasiswa laki-laki yang sedang asik menonton youtube. Sebut saja mahasiswa laki-laki itu dengan sebutan Joko.
“Bateraiku hampir habis nih.” Ujar Mentari.
“Colokin disitu. Minta gantian sama mas-masnya yang disamping kita itu.”
“Tapi aku malu.”
“Minta tolong Yunita aja.” Bulan memberi saran.
“Yun..”
“Iya, ada apa?”
“Baterai laptopnya Mentari hampir habis. Tolongin ngomong ke mas-nya.”
“Tapi aku gak kenal. Kamu aja deh.”
“Please.” Kata Bulan
“Sumpah aku bingung gimana ngomongnya.” Sahutku.
“Yaudah deh, gapapa.” Ujar Mentari.
            Karena merasa kasihan dengan Mentari, aku memberanikan diri berbicara pada mas Joko itu. Mentari dan Bulan tertawa melihat caraku berbicara dengan mas Joko. Mereka tidak sedikitpun membantuku membujuk mas Joko untuk mau berbagi colokan. Mas Joko sempat menolak untuk berbagi colokan, tetapi akhirnya dia mau berbagi. Baterai laptop Mentari pun dapat dicas. Dan Bulan bisa browsing sesuka hati karena laptopnya berhasil diselamatkan.
            Kejadian kedua berlangsung di Gazebo B3. Saat itu, aku, Bulan, dan Mentari sedang asik ber-WiFi ria. Tiba-tiba baterai laptop Bulan akan segera habis. Aku menyarankan agar segera dicas di colokan yang terdapat di balik dinding tempat kita duduk. Saat kita sedang WiFi-an di Gazebo B3, memang disana ada sekitar belasan mahasiswa seni musik sedang latihan menyanyi.
“Bateraiku mau habis.”
“Colokin aja disitu.” Saranku.
“Colokin dong.”
“Yaelah tinggal berdiri doang terus tinggal colokin doang.”
“Aku malu banyak orang lagi latihan nyanyi hadapnya ke kita.”
“Aku juga kali.” Sahutku.
“Tapi kan ini fakultasmu. Tolong dong.”
“Sama aja kali, sama-sama satu kampus. Walaupun ini fakultasku, emangnya aku kenal mereka semua?”
“Tolong dong, Yun.”
“Oke deh.”
            Aku membantu Bulan menyolokkan charger laptopnya. Semua orang yang sedang latihan menyanyi ngliatin aku semua, tapi aku cuek aja demi nolongin temen. Aku heran, kenapa mereka tidak pernah berpikir untuk sedikit menolong orang lain. Apa mereka tidak mengingat pertolongan orang lain ketika mereka butuh bantuan? Aku sangat mengetahui, setiap manusia tidak pernah lepas dari bantuan orang lain. Maka dari itu, aku berusaha menolong orang lain yang sedang kesusahan agar nantinya jika aku memerlukan bantuan orang lain bersedia membantuku. Bukankah Tuhan pernah berfirman, setiap kebaikan akan dibalas kebaikan walaupun sekecil zarah.
            Mungkin semua ini memang aku yang salah. Semua manusia di dunia ini benar kecuali aku. Akulah yang aneh. Aku yang salah. Aku yang sial. Aku yang bodoh. Maafkan aku.

Buscar

 

Labels

About

Ma Petit Histoire Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger