Sepenggal Jejak di Jogja


Menjalin pertemanan nampaknya kurang lengkap jika belum berpetualang bersama. Baru saja kami pulang berpetualang bersama setelah sekian lama merencanakan liburan dengan dalih piknik pascaUAS akhirnya terealisasi juga. Kota Yogyakarta yang “katanya” istimewa kami pilih sebagai tempat yang akan kami explore. Merencanakan liburan nyatanya tidak semudah yang dikira. Aku harus mengusahakan semuanya harus ikut. Yaa.. meskipun dari kesebelas awak hanya delapan awak yang bisa ikut. Setelah memastikan delapan orang fix ikut explore Jogja, aku juga harus menyusun susunan acara supaya gak bingung mau ngapain ketika di sana. Lagi-lagi ideku bikin susunan acara disambut ledakan tawa oleh kawan-kawan dan langsung dapat sebutan istimewa “sie acara”.
Kumpul di kantor BP2M, UKM lantai 2

            Seperti biasa, bukan kami namanya kalau kumpul tempat waktu. Janjian Kamis sore (21/01) pukul 2 siang, tetapi baru kumpul semua pukul 3 sore. Alhasil, rencana Teguh yang ingin menikmati senja di kota pelajar gagal karena tiba di Yogyakarta malam hari. Banyak orang mengatakan, masakan kurang sedap tanpa bumbu. Serupa halnya petualangan kami, banyak sekali tragedi-tragedi kecil yang mewarnai petualangan kami. Sebelum pemberangkatan masih saja ada drama kecil sebagai pelengkap. Terlebih saat perjalanan hingga tiba di Kota Pelajar itu.

            Perjalanan kami disambut oleh rintik hujan yang turun dari langit Kota Semarang. Karena beberapa orang tidak ada yang membawa jas hujan, kami berhenti di sebuah minimarket untuk membeli jas hujan. Aku yang sejak kecil lebih memilih berhujan-hujanan daripada memakai jas hujan harus berkompromi memakai jas hujan plastik berwarna-warni sore itu. Ternyata tidak terlalu buruk memakai jas hujan, ukurannya yang lebar dan bentuknya seperti gaun para princess Disney membuatku merasa bagaikan princess Belle yang memakai gaun warna kuning karena jas hujanku pun berwarna kuning. Tidak hanya aku saja yang mengenakan jas hujan plastik warna-warni, beberapa orang diantaranya Micil, AL, Siska dan Imron pun mengenakannya. Kami semakin mirip teletubbies.

            Perjalanan kami lanjutkan. Tidak berapa lama, kami memutuskan berhenti di sebuah rumah di samping minimarket (lagi) karena hujan turun dengan derasnya. Entahlah, kenapa setiap pemberhentian kami selalu berhenti di minimarket. Tanyakan saja pada Rais. Kami hanya mengikutinya dari belakang. Beberapa orang memesan kopi hangat dan makanan ringan, sementara yang lainnya membantu menghabiskannya. Kami memang kompak kalau soal itu.

Sekitar setengah jam berteduh dan hujan belum sepenuhnya reda, kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah mushola kecil di Magelang untuk menunaikan kewajiban. Di mushola itu, aku bertemu warga sekitar yang ramah. Saat sedang mengambil air wudhu, seorang ibu paruh baya menghampiriku seraya berkata, “Nak, ibu minta do’anya ya..” Usai mengambil air wudhu, aku menjabat tangannya, “Oh iya bu.. Saya doakan. Kalau boleh tau, doa untuk apa ya?” Aku kira ibu paruh baya itu meminta didoakan supaya segera naik haji atau sawahnya segera panen atau mungkin didoakan agar dikaruniai cucu yang banyak. Ternyata ibu itu menjawab, “Tolong doakan ibu ya supaya cepet dilamar sama Pak Bupati.” Aku tercengang berusaha menahan tawa agar tidak menyinggung perasaan wanita paruh baya itu. Setelah aku konfirmasi ke beberapa orang warga yang juga sedang beristirahat, memang benar, wanita paruh baya yang meminta didoakan itu kurang sehat jiwanya. Wanita itu merupakan mantan karyawan di salah satu tempat makan langganan Pak Bupati yang letaknya depan mushola yang aku singgahi itu. Meskipun jiwanya kurang stabil, aku salut dengan wanita itu, ia tetap rajin beribadah dan berdoa supaya hajatnya dikabulkan.
Makan malam di warung Lamongan

            Usai menunaikan kewajiban, kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Yogyakarta. Di tengah perjalanan beberapa perut sudah minta diisi. Alih-alih rencanaku yang ingin menikmati suasana angkringan Yogyakarta harus pudar karena Rais berhenti di sebuah warung makan lamongan di tepi jalan Magelang. Awalnya aku kurang sreg dengan tempat yang dipilih karena tidak sesuai ekspektasiku. Aku lebih suka makan bersama dengan suasana lesehan karena bisa mempererat keakraban. Nah, di warung makan lamongan itu kami duduk di atas kursi berjejer menghadap si penjual makanannya. Namun, ternyata aku salah duga. Meskipun duduk berjejer tanpa menghadap satu dengan yang lain, kami masih bisa bersenda gurau di atas meja makan. Tata letak tidak akan mengubah suasana, tiada lain kita sendirilah yang mampu membawa arah suasana.
            Setelah berjam-jam di perjalanan, akhirnyaaa tiba lah kita di Jogja. Beberapa kali teriak gak jelas karena motor Teguh hampir nyerempet kendaraan lain di Jogja. Parahnya, kita melanggar lampu lalu lintas dan respon Teguh hanya, “Woh! Kalau siang hari, kita udah dikejar.” Tidak masalah bagiku, suatu pengalaman seru melanggar lampu lintas (lagi) di kota orang.

            Sampailah kita di Jogja. Jogja malam hari memang tidak jauh berbeda dengan kota lain. Jogja malam itu terasa sepi menurutku, entah menurut kawan yang lain. Rencana awal tiba di Jogja adalah berburu oleh-oleh khas Malioboro, tetapi gagal karena hampir sebagian para penjual tengah menutup kiosnya karena hari sudah malam. Terlebih ketika AL yang berada di posisi paling depan mengarahkan kami menuju alun-alun Jogja dekat keraton yang membuat para cowok diantaranya Rais, Teguh, dan Imron bete karena tidak masuk akal bila bermain di alun-alun larut malam mengingat kondisi fisik kami sudah sangat lelah.
            Dengan berbagai pertimbangan salah satunya karena ada beberapa sarang penyamun di sana, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Pakdhenya AL. Perjalanan menuju ke sana juga diwarnai berbagai kisah lucu. Mulai dari AL yang lupa jalan menuju rumah Pakdhenya yang membuat kita berhenti di tepi jalan menunggu Pakdhenya AL menjemput. Betapa mengharukannya pertemuan antara Pakdhe dan keponakannya itu. Hohoho. Sekitar 15 menit kemudian kami disambut hangat oleh Pakdhe beserta istrinya dengan teh hangat dan bakpia serta buah pisang. Rumah Pakdhe mungil tetapi sangat nyaman bagiku. Seperti biasa, kebiasaan unikku muncul, aku ingin punya cita-cita: Aku ingin punya rumah mungil yang nyaman. Itu memang cita-citaku sejak kecil sih.. Pokoknya sebuah rumah mungil penuh bunga-bunga mirip gambar rumah di buku pelajaran Bahasa Indonesia saat aku duduk di bangku sekolah dasar dulu. Hihiw..
            Mengingat ini adalah perjalanan religi, kami para muslim dan muslimah tentu saja tidur terpisah. Bukdhe mempersilakan kaum Hawa untuk tidur di kamar tidur, sementara kaum Adam tidur di ruang tengah bergelar tikar. Aku pun tidur beralaskan tikar bareng Micil. Tidak masalah beralaskan tikar, selama ada bantal guling semua akan baik-baik saja karena sejak kecil aku memang terbiasa tidur dengan bantal guling guna menyandarkan kepala dan bantal biasa untuk dipeluk. Kebalik gak sih? Hahaha. Karena menurutku, sesuatu yang berbeda itu keren! Beberapa kali bolak-balik kamar dan ruang tengah karena ada perlu terkait charger ponsel dan mukenahku yang basah.
Sarapan di rumah Budhe

            Pukul 04.30 WIB pagi alarmku bunyi tepat saat adzan subuh berkumandang. Aku mengucek-ucek mataku kemudian bangkit membangunkan AL, Dian, Micil, dan Siska. Karena responnya hanya, “Hhmm..” dan “Iyaa, Yun..” aku menyerah dan bergegas mengambil air wudhu. Respon yang didapat pun sama ketika membangunkan Rais, Teguh, dan Imron. Hufff.. dedek lelah. Sembari menunggu, aku bertanya pada AL, “Mba AL, kiblatnya kemana?” AL menjawab sembari menahan kantuk, “Ke sana.” Setengah jam kemudian tepat pukul 05.00 WIB, Teguh bangun disusul Rais, Mereka bergegas mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat subuh. Salah satu dari mereka berdua bertanya, “Yun, kiblatnya kemana?” “Ke sana” sahutku seraya menunjuk arah. Kami bertiga pun menunaikan sholat subuh. Usai menunaikan sholat, AL berujar, “Kok kalian kiblatnya ke sana?” Ah, sudah dapat ditebak mereka akan menyalahkan siapa. Xoxoxo. Akibat kejadian itu, kami bertiga dicap sebagai the next Gafatar.
            Usai sholat subuh, kami duduk bersama menunggu pagi (halahh zzz) padahal kalau di rumah/kos/kantor yo mesti masih tidur. Rais dan Teguh kembali melanjutkan merajut mimpi yang terhenti. Sementara kami para cewek mengabadikan moment di rumah Pakdhe dan Budhe dengan berselfie ria. Muka-muka abis bangun tidur mewarnai foto-foto selfie kala itu, terlebih aku yang matanya gampang sembab dan kian sipit tiap bangun tidur. Tidak berapa lama, Budhe datang membawa dua bungkus plastik hitam besar berisi nasi bungkus dan gorengan serta teh hangat untuk kami. Aku membangunkan Teguh dengan mendekatkan sebuah nasi bungkus ke indra penciumannya. Sementara Rais, tanpa harus mendekatkan makanan ke hidungnya, ia sudah mencium aroma makanan yang berhasil membuatnya bangkit dari tidur. Pagi itu sangat cerah, kami menuju halaman samping rumah. Rencananya sih mau olahraga, menyadari bahwa kami mahasiswa super sibuk yang tiap hari dikejar deadline sehingga lupa berolahraga. Tidak sampai lima menit, kegiatan olahraga tiba-tiba berubah menjadi kegiatan selfie dan ngambil buah kresen langsung dari pohonnya. Sembari menunggu yang lain mandi, aku mengajak Micil mencari tukang jual pulsa. Pakdhe memberitahukan bahwa letak rumah penjual pulsa berada di sebelah rumah Pakdhe. Setelah kami ke sana, ternyata si penjual pulsa sedang tidak ada saldo pulsa. Akhirnya, aku dan Micil meminjam motor Imron dengan alasan mencari penjual pulsa, padahal ada alasan lain yakni ingin menikmati suasana Jogja pagi hari dengan berkeliling. Arah Timur, Barat, Utara, dan Selatan sudah kami singgahi, tetapi belum ada satu pun gerai penjual pulsa yang buka, bahkan bisa dibilang jarang penjual pulsa. Aku sempat memberi saran pada Micil, “Mba, kamu jual pulsa sekitar sini dijamin laku keras, sebab yang jual masih jarang.” Kemudian kami kembali ke rumah Pakdhe tanpa hasil. Pakdhe menyarankan untuk membeli pulsa di tetangganya yang letak rumahnya persis di belakang rumahnya. Aku jadi mikir, “Terus ngapain tadi muter-muter gak jelas? Tapi seneng juga sih bisa menikmati jalanan Jogja pagi hari.” Rumah si penjual pulsa itu ternyata dijaga oleh seekor anjing hitam galak pula. Bener-bener perjuangan bisa masuk halaman rumah itu, Pakdhe juga jagain aku dan Micil dari anjing galak itu. Aku harus balik lagi ke rumah itu untuk kedua kalinya untuk membayar kekurangan yang harus dibayar. Karena gak enak merepotkan Micil lagi, aku meminta tolong Imron untuk mengantarku pakai motor ke rumah yang dijaga anjing hitam itu. Pulangnya sempat muterin gang sekitar situ, ternyata ada tugu berbentuk buah mangga berwarna hijau. Aku jadi penasaran, mengapa tugunya berbentuk buah mangga. Apakah daerah tersebut merupakan daerah penghasil mangga. Setelah itu, kami semua siap-siap bergegas menuju tempat petualangan yang kami sendiri gak tahu mau ke mana sebenarnya. Tak lupa kami berpamitan kepada Pakdhe dan Bukdhe yang udah baik banget. Pokoknya super baik!! Matur suwun Pakdhe dan Budhe. Sehat selalu yaa.
Thawaf

            Perjalanan kami lanjutkan menuju Kota Yogyakarta tepatnya Malioboro. Kendaraan diparkir di parkiran pasar Beringharjo. Jalan kaki lah kita menuju titik nol kilometer. Padahal aku ingin jalan kaki pada malam hari. Meski udah pernah bahkan setiap ke Jogja sering jalan-jalan kaki malam hari di sekitar titik nol kilometer. Entah kenapa kami seperti melakukan tawaf. Dari benteng Vredeburg lanjut ke taman pintar meski cuma numpang ambil gambar doang. Gak lengkap rasanya sudah sampai di Pasar Beringharjo tanpa membeli buah tangan dari sana. Kami para cewek berburu buah tangan, sementara kami biarkan para cowok menunggu di parkiran. Hahaha. Diajakpun pasti mereka akan menolak karena aku tahu bahwa hampir sebagian besar laki-laki paling males nemenin perempuan belanja. Sebagai teman yang budiman, aku membelikan sebuah totebag untuk teman sekamarku. Sedangkan AL membelikan dua stel kemeja untuk pacar yang populer disapa Papah, bahkan ia tidak membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Kamu kok keren banget sih, mba AL.. Si Papah untung banyak ini mah. Langgeng terus yak!
Di depan Benteng Vredeburg

            Setelah puas berburu oleh-oleh, perjalanan kami lanjutkan menuju Gunung Kidul. Aelah.. jauh-jauh dari Gunungpati mainnya ke Gunung Kidul. Kata AL, jalanannya naik turun gitu. Ternyata benar, tapi lumayan jalanannya mulus. Selain itu, kami disambut pepohonan dan bukit hijau yang melintang. Perjalanan menuju Gunung Kidul tidak semulus yang kami kira. Lagi-lagi AL lupa arah rumah Pakdhenya, kami jadi mempertanyakan asal-usul AL sebagai wong Jogja. Hahaha. Hari itu memang hari Jumat, teman-teman kami khususnya Imron, Rais, dan Teguh harus melaksanakan sholat Jumat. Terlebih Teguh yang sejak tadi menanyakan, “Sekarang jam berapa?” dan pandangannya gak lepas tiap liat masjid. Tiba-tiba motor Imron berhenti, AL turun menghampiri seorang nenek dan bertanya arah jalan. Entah apa sebab musababnya, ketiga cowok itu pergi menuju masjid terdekat untuk melaksanakan sholat Jumat dan menitipkan aku, AL, Dian, Siska, dan Micil di rumah milik nenek tadi. Sembari menunggu Teguh, Imron, dan Rais kembali. Kami berlima beristirahat, menjemur sepatu, dan sholat dzuhur. Nenek pemilik rumah sangat ramah dan baik hati. Dia menawarkan untuk beristirahat sejenak di tempatnya dan menyiapkan minuman untuk kami. Dia sempat bercerita padaku, “Ini tidak seberapa, Nak. Saya juga punya cucu seusia kalian yang sedang menempuh bangku kuliah pula. Dia juga suka travelling, saya berharap ada orang yang membantu cucu saya ketika dia sedang berada di kota orang.” 
            Namanya juga generasi colokan, Siska dan AL langsung meminta izin ngecharge ponselnya. Aku sholat dzuhur pakai mukena milik Dian karena bawahan mukenaku tertinggal di rumah Pakdhenya AL. Setelah ketiga cowok itu kembali, kami pamit ke nenek itu untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Pakdhenya AL (lagi). Tak lupa kami meminta ditunjukkan jalan supaya kembali ke jalan yang benar. Ternyata kami kelewatan, seharusnya di perempatan lalu belok kiri, tetapi kami malah lurus. Tidak berapa lama, tiba lah kami di sebuah rumah yang menjajakan dagangan di depan rumahnya. Kami disambut hangat di rumah Budhenya AL. Hampir semua jajanan dagangan dipersembahkan untuk menjamu kami tamu yang tidak diundang. Sekitar sejam beristirahat, kami berencana mengexplore wisata pantai. Tak lengkap bila berkunjung ke Gunung Kidul yang kaya akan aneka ragam pantai, tetapi tidak mampir ke salah satu pantainya. Pantai yang akan kami singgahi bernama Pantai Ngeden. Selain karena namanya yang unik dan sulit diverbalkan (bingung harus mengucap antara fonem e dan E), pantai tersebut juga tidak terlalu ramai. Ooo, sekarang aku tahu kenapa pantai ini tidak begitu ramai dibanding pantai lainnya. Untuk mencapai pantai Ngeden, kami harus menempuh jalan yang berkelok-kelok, naik-turun bukit, mengikuti jalan setapak yang sempit. Sulit bagi yang ingin menempuhnya dengan kendaraan roda empat.
Pantai Ngeden

            Tiba di sana, kami disambut deburan ombak yang bergulung indah menampar karang-karang. Subhanallah.. pantai yang kemarin hanya bisa aku lihat melalui instagram, kini aku menjejakan kakiku di tempat yang aku sebut bocoran surga ini. Ketika teman-teman mengusulkan untuk ke pantai, keinginanku sederhana saja, pasir pantainya harus berwarna putih. Langsung deh, disembur Rais, “Ya iyalah, putih..” Aku diem aja sih, gak nanggepin. Sebenarnya pengen nanggepin, “Warna pasir pantai di kotaku hitam. Melihat pasir pantai berwarna putih merupakan suatu keniscayaan bagiku.” Tiba di sana, aku langsung ambil gambar baik sendiri maupun bersama kawan-kawan. Sengaja karena aku sedang berusaha meminimalisasi selfie/foto karena ingin menikmati pantai sesungguhnya. Tepat kemarin malam, saat kami sedang nongkrong di warung kopi, mas Aziz berujar, “Mengambil gambar akan mengurangi keindahan pemandangan suatu tempat. Percaya deh!” Aku resapi kalimat itu. Yaa.. meskipun aku tetep selfie, tetapi dijamin tidak sebanyak yang lainnya. Sampai rumah, aku gak menyesal dan merasa baik-baik saja karena merasa puas menikmati Pantai Ngeden. Merasakan deburan ombak yang membuat celana panjangku basah kuyup, berguling di pasir putih, duduk di atas karang memandangi langit, berkejar-kejaran saling melempar pasir, dan melihat kawan-kawanku tersenyum. Kebahagiaanku lengkap hari itu.

            Sebelum pulang, kami melaksanakan sholat ashar di surau dekat pantai. Tempat untuk mengambil air wudhu berbentuk kendi. Usai shalat, kami kembali menuju tempat penginapan yakni rumah Budhenya AL. Belum lama perjalanan pulang, tetesan air dari langit menjatuhi kami pertanda akan hujan. Sedia jas hujan warna-warni sebelum hujan! Itu menjadi motto kami saat itu. Aku dan Teguh jauh meninggalkan teman-teman yang tertinggal di belakang, tetapi percuma sih paling depan kalau lupa jalan. Hahaha. Akhirnya, kami nunggu Rais dan Imron yang tertinggal di belakang. Teguh bilang, “Kayaknya arahnya ke sana deh bukan kesitu.” Aku jawab, “Masa sih? Kita ngikut aja, sapa tau bener daripada nyasar sendiri.” Sempat gak yakin karena gak nyampe-nyampe. Berkat Rais, akhirnya kita tiba di rumah Budhenya AL. Kemampuan Rais dalam mengingat jalan tidak perlu diragukan lagi. Pokoknya dia laiknya kompas bagi kita lah! #SaveRais!


              Senja sebentar lagi tenggelam digantikan malam. Kebahagiaan kita kian lengkap karena pakaian dan celana basah kehujanan, tidak mandi sore, ditambah listrik padam. Apalagi baterai ponsel belum penuh dicharge. Akan tetapi, ada hikmah yang bisa dipetik dari listrik padam ini. Masing-masing dari kami yang sejak tadi sibuk dengan gadget harus rela mengikhlaskan untuk tidak bermain gadget karena lowbat. Agenda berubah menjadi berbincang hangat mengelilingi lilin kecil, berebut bantal, saling ngebully, dan ngemil jajan dagangan Budhe. Semestinya agenda ngobrol itu lakukan di Bukit Bintang. Lagi-lagi aku harus menerima kenyataan pahit belum bisa singgah ke Bukit Bintang mengingat hujan deras malam itu.
            Tidak seperti kemarin malam, malam itu kami tidur lebih awal. Apalagi kami para cewek diusir dari ruang tamu untuk segera pindah ke kamar tidur karena kaum lelaki itu ingin tidur di ruang tamu. Perintah dari Rais, Imron dan Teguh tak kami hiraukan. Setelah listrik kembali hidup, kami sibuk memindahkan file foto selama di Jogja sembari minum kopi dan ngemil. Kemudian kami pindah ke kamar tidur. Aku tidur di kasur bawah, sedangkan AL, Micil, dan Dian tidur di kasur atas. Menjelang subuh, aku bangun lalu membangunkan kawan-kawan yang lain. Ternyata aku menemukan Siska sedang tidur di kursi ruang tamu. Rupanya sejak semalam dia memilih tidur di ruang tamu, padahal AL sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar tidur. Aku balik ke kamar mengambil sebuah selimut untuk menyelimuti Siska yang terlihat kedinginan berselimutkan selimut tipis. Sengaja aku tidak membangunkannya karena dia sedang tidak sholat.
            Pagi hari, rupanya kami telah disiapkan sarapan sebelum  pulang ke Semarang. Padahal rencananya, kami akan makan di luar karena sudah terlalu banyak merepotkan keluarga ini. Sudah diberikan tempat untuk berteduh saja kami sangat bersyukur.  Di tengah perjalanan pulang, ada saja hal-hal kecil yang terjadi. Ban motor Imron dan AL bocor sehingga kami harus merelakan waktu untuk terlambat pulang ke Semarang. Rais dan Micil yang berada di barisan paling depan tidak tahu bahwa ban motor Imron dan AL bocor, tetapi tidak masalah karena komunikasi kami yang lancar, Rais dan Micil putar balik menghampiri kami. Ternyata tidak membutuhkan waktu lama untuk menambal ban. Kami bisa melanjutkan perjalanan menuju Semarang. Di tengah perjalan hampir dekat dengan Kabupaten Semarang, hujan kembali menyertai kami selama perjalanan pulang sehingga kami harus mengenakan kembali jas hujan warna-warni.
            Entah di bunderan apa, Rais menurunkan Micil di jalan. Rupanya Micil hendak pulang kampung saat itu juga. Kami bertujuh hanya bisa mengantarkan sampai bunderan itu. Alhasil, Rais sendirian tanpa teman boncengan hingga tiba di Gunungpati. Rais jadi pemimpin kami menyusuri jalananan. Dia bak Patih Gadjah Mada dan kami berenam seperti pengikutnya. Beberapa kali spot jantung karena Teguh nyelap-nyelip truk-truk besar mengikuti Rais. Sudah waktunya sholat dzuhur, kami beribadah di mushola SPBU. Sempat terjadi perdebatan sengit karena Teguh ingin sholat dzuhur di kos karena gerah belum mandi pagi sejak masih di Gunung Kidul, sementara yang lain ingin segera menunaikan sholat.  Tiba di jalan dekat alun-alun Ungaran, aku, Dian, Teguh dan Siska mencopot jas hujan sembari menunggu yang lain yang tertinggal jauh di belakang. Kemudian kami pulang menuju kos masing-masing. Berakhirlah piknik yang kami idam-idamkan sejak zaman masih magang Express. Banyak hal-hal yang tidak terduga terjadi selama piknik di Jogja. Banyak rencana dan keinginan yang ingin aku lakukan di Jogja, tetapi belum bisa dilaksanakan seperti makan di angkringan, ngobrol bercengkrama bersama kawan-kawan memandang bintang di bukit bintang, jalan kaki menikmati Jogja malam hari, menunjungi perpustakaan terbesar seAsia Tenggara, dan mencicipi kuliner khas Jogja. Ternyata Tuhan punya rencana lain, adanya hujan deras saat malam hari dibarengi listrik padam membuat kita meninggalkan sejenak gadget masing-masing untuk sekadar ngobrol berbagi bermacam-macam hal. Adanya peristiwa ban motor Imron dan AL yang bocor mengajarkan bahwa selama bersama, semua rintangan akan bisa dilewati. Aku mengira selama di Jogja kami akan menghabiskan budget yang besar untuk makan dan mengunjungi objek wisata, fokus berselfie ria sehingga lupa untuk berbincang bersama untuk merekatkan keakraban, ternyata aku salah. Perjalanan di Jogja memberikan makna yang tak terkira. Harapanku semoga kami selalu solid. Tidak ada yang boleh bilang nyerah dan bisa terus belajar bersama serta berbagi di BP2M. Aku ingin berterima kasih kepada kantor BP2M yang telah mengumpulkan kami (lagi) berdelapan. Semoga di tempat itu pula kami masih diberi kesempatan berkumpul bersebelas. Semoga.

Special thanks to:
1. AL, yang udah menyediakan penginapan beserta fasilitasnya selama di Jogja.
2. Siska, yang udah minjemin celana panjangnya yang super nyaman untuk jalan-jalan dan tidur karena aku gak bawa celana ganti.
3. Teguh, yang udah bersedia nebengin seorang anak manusia yang (katanya) gendut ini. Terima kasih telah menjadi teman nebeng yang keren mengarungi terik matahari dan derasnya hujan.
4. Imron, yang udah bersedia menemaniku menghadapi anjing galak dan bantuin aku benerin kunci pintu kamar mandi yang rusak sehingga aku bisa mandi dengan tenang. Hihi.
5. Rais, yang berhasil menjadi penunjuk jalan yang kompeten sehingga kita kembali ke jalan yang benar.
6. Micil, yang mau direpotin nemenin aku nyari tukang jual pulsa pagi-pagi buta dan menemani aku menikmati Jogja pagi hari.
7. Dian, yang merelakan kosnya jadi tempatku mengungsi dan bersabar menghadapi Yunita yang keinginannya suka aneh-aneh. 

Buscar

 

Labels

About

Ma Petit Histoire Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger