Pemakluman yang Berulang

Malam Ramadhan ke-25. Aku telah tiba kampung halaman. Sejak kepulanganku siang tadi menggunakan kereta dari Semarang. Lega rasanya. Setelah seminggu lebih bergelut dengan tugas-tugas ujian akhir semester, akhirnya semesta mengizinkanku menghirup udara segar setelah beberapa minggu terakhir merasakan sesak napas akibat tugas-tugas akhir bikinan dosen-dosen terhormatku itu. Sebenarnya aku sudah bisa kembali ke kampung halaman sejak Selasa kemarin, namun tanpa diduga salah satu dosen mengundurkan jadwal ujian. Aku harus merelakan kepulanganku pada hari Rabu. Di luar alasan itu, ada alasan lain mengapa aku memutuskan pulang hari Rabu. Alasanku adalah dia. Aku menyebutnya Petir. Tiba-tiba saja aku ingin memplesetkan namanya menjadi Petir. Dan itu terlintas saja di pikiranku.

            Manusia mudah dilanda bosan dan kesepian barangkali. Beberapa dari mereka belum bisa berdamai dengan rasa kesepian. Jika manusia bisa berdamai dengan kesepian, ia tidak akan merasa bergantung dengan benda bernama ponsel. Tanpa kecuali diriku sendiri. Aku sering mengutuki orang-orang yang tiap detik sibuk dengan ponselnya, bak mengidap autis. Nyatanya, aku sendiri masih sangat bergantung pada benda yang saat ini mengalihkan perhatian orang-orang dari buku. Ya.. ponsel telah mengalahkan eksistensi buku. Kita akan mudah menemukan orang memainkan ponsel dibandingkan membaca buku. Persis pemandangan yang biasa ku lihat di kereta. Sangat sulit menemukan orang yang sedang menunggu membunuh kebosanannya dengan membaca. Tapi, aku bersyukur, tadi siang aku masih melihat salah seorang penumpang kereta yang duduk di sampingku membaca sebuah novel di antara ratusan penumpang yang sibuk dengan gadget, ngobrol, dan tidur di kereta. Lantas, aku ingat sebuah buku yang ku pinjam dari kakak tingkatku karya Setyaningsih yang berjudul “Dari Buku Berakhir Telepon.” Buku yang berisi kumpulan esai mengenai hal-hal sederhana yang tidak kita sadari diungkapkan dan dianalisis secara rinci dan tidak terduga.

            Saat malam tiba dan kebosanan menyerangku, aku segera mencari dan membuka ponselku. Beberapa notifikasi dan pesan menyerbu untuk meminta dibaca. Salah satu dari pesan tersebut berisi deadline tulisan yang harus aku rampungkan untuk majalah kampusku. “Kau harus menyunting kembali tulisanmu yang terlalu kaku,” begitu yang disampaikan pimpinan redaksi majalah tersebut padaku malam lalu. Sebelum menyunting, aku pergi ke dapur mengambil sebuah gelas kosong untuk ku buat segelas cappucino sebagai teman menulisku. Cappucino yang sudah bisa segera ku teguk itu, aku bawa ke ruang tamu. Malam ini aku ingin menulis di ruang tamu sehingga aku bisa mendengar jelas lantunan ayat-ayat suci yang dilantunkan anak-anak yang tengah mengaji di masjid depan rumahku. Ah, jadi teringat masa kecilku. Dahulu aku juga seperti mereka. Selepas tarawih, aku dan teman-temanku membaca Quran di masjid. Ayat-ayat suci yang ku lantunkan dengan pengeras suara terdengar hingga ke telinga nenekku yang rumahnya agak jauh dari rumahku, tetapi satu desa denganku. Kata bulekku, nenek bangga mendengar cucunya sejak kecil pandai mengaji.

            Cappucino itu terus ku pandangi sebelum ia larut dalam kerongkonganku. Sial, aku teringat seseorang yang gemar minum kopi. Beberapa hari kemarin, baru saja ku buatkan dia segelas kopi hangat. Petir memang gemar kopi. Beberapa kali kami menikmati kopi bersama. Menurut pengamatanku, ia memang pecinta kopi. Dari kopi kemasan hingga kopi yang memang benar-benar diracik dengan rumit ia sukai. Dia pernah mengatakan padaku saat dia mengantarkanku kuliah bahwa ia juga menyukai kopi hitam. Saat itu aku masih ragu mendengar jawabannya. Setelah malam-malam yang kami lalui bersama dengan ditemani kopi, keraguan itu perlahan pudar. Aku percaya ia menggemari kopi seperti aku percaya pada segala ucapannya.

            Namun, kepercayaan yang aku bangun padanya berbulan-bulan lamanya itu perlahan memudar. Beberapa kali aku harus menelan kekecewaan akibat janji yang ia buat. Aku pulang membawa beberapa janji yang masih aku tunggu ia tuntaskan. Petir berjanji menemuiku siang itu di suatu tempat kami biasa bertemu. Siang itu, mentari terik sekali. Aku percepat langkah kakiku menuju tempat yang kami janjikan. Dia sangat perhitungan waktu bila bersamaku dibandingkan dengan yang lain, begitu juga aku. Selepas ujian, aku bergegas menuju tempat yang kami janjikan. Tiba di sana, tidak ku dapati batang hidungnya. “Mungkin ia terlambat,” pikirku menghibur diri. Aku membuka komputer jinjingku. Ku lihat beberapa note berisi tugas akhir yang menuntutku untuk dikerjakan. Semestinya, waktu yang luang saat itu bisa aku gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas akhirku, tetapi aku memilih bertemu dengan Petir. Satu jam berlalu. Aku tak kunjung melihat tanda-tanda kedatangannya. Ponselku berdering. Sebuah pesan masuk. Pesan dari Petir yang mengatakan bahwa ia tidak bisa menemuiku karena ada kuliah. Aku (harus) memakluminya. Tidak apa, waktu yang semestinya bertemu Petir aku gunakan untuk mengerjakan tugas akhir sampai aku tertidur di tempat itu, mengobati kantuk dan lelah yang ku rasakan. Andai ia tahu.

            Aku meneguk cappuccino yang terpaku di depanku. Rasa manis cappuccino tidak mampu mengganti rasa pahit kekecewaan yang Petir torehkan lagi. Kami berdua berjanji kembali untuk bertemu di tempat itu lagi. Aku datang lebih awal pukul 8 malam. Kali ini niatku adalah mengerjakan tugas akhir yang harus segera dirampungkan. Niat yang ku ubah itu tiada lain supaya aku tidak terlalu kecewa bila Petir mengingkari janjinya lagi. Seorang laki-laki yang telah aku anggap sebagai kakak pernah berkata padaku, kalau kamu tidak ingin kecewa, jangan pernah berekspektasi. Aku mematuhi perkatannya. Ponselku kembali berdering. Sebuah pesan masuk dari Petir. Ia akan datang pukul 10 malam. Timbul secercah cahaya pengharapan. Aku menunggunya. Sengaja aku mempersiapkan segelas kopi yang siap ku seduh bila ia datang. Pukul setengah sepuluh malam, Petir mengirimku pesan. Ia tidak bisa datang dengan alasan lelah karena seharian beraktivitas. Darahku seakan berhenti mengalir. Air mataku aku tahan agar tidak jatuh. Aku sengaja tidak membalas pesannya. Lagi-lagi aku merasa bodoh tertipu olehnya. Aku sepertinya harus membenarkan ucapan temanku yang juga teman Petir. “Jangan pernah berikan kepercayaanmu pada Petir seratus persen. Cukup sepuluh persen,” katanya.

            Aku tidak bisa pungkiri, aku kecewa pada Petir. Sebagai wanita, aku ingin dimengerti. Aku pun sadar bahwa aku juga harus memahami Petir. Barangkali dia memang tidak benar-benar sengaja mengingkari janjinya. Aku mencari informasi alasan Petir tidak bisa datang menemuiku. Seorang teman dekat Petir mengatakan, Petir menjadi salah satu panitia acara yang acaranya dilaksanakan dan berakhir petang tadi. Aku berpikir, barangkali Petir memang lelah karena menjadi panitia acara dan malamnya harus menunaikan janjinya bertemu denganku. Alangkah kejamnya aku jika tetap memaksanya menemuiku malam itu. Aku memakluminya lagi. Meskipun aku tidak bisa menampik kekecewaanku pada Petir.

            Berhari-hari setelah peristiwa itu, kami tidak saling berhubungan melalui telepon. Aku malas menghubunginya ataupun merespon segala hal tentangnya. Hingga beberapa hari kemudian kami dipertemukan dalam agenda yang sama. Aku sengaja hadir terlambat. Tiba di tempat itu, ku lihat telah banyak orang yang hadir termasuk Petir. Aku mengetuk pintu dan segera duduk mengelilingi meja besar di ruangan berisi tumpukan kertas itu. Ketukan pintu yang ku ketuk agak keras nyatanya tidak mengalihkan pandangannya terhadapku yang baru saja datang. Aku melihat Petir tengah asik dengan komputer jinjingnya dan teman ngobrolnya. Lebih jahatnya, dia tidak sekilaspun melirik kedatanganku. “Oh, mungkin dia tidak merasa bersalah sama sekali. Baiklah, tak apa.” batinku.

            Saat itu Petir juga tengah asik bercengkrama dengan seorang perempuan yang usianya satu tahun lebih tua darinya. Aku tahu tidak ada apa-apa di antara mereka. Rasanya aku tidak ingin mendengar suara obrolan mereka. Untuk menghindari mereka berdua, aku beranjak dari tempatku. Aku memilih (berpura-pura) menyibukkan diri menonton film dari layar komputer. Tidak lama kemudian, Nani menghampiriku dan duduk disampingku. Kami nonton bareng untuk mengalihkan perhatianku agar tidak terlalu peduli pada segala tindak-tanduk Petir saat itu. Nani adalah teman dekatku yang periang. Segala sesuatu yang dia lakukan selalu dijalani dengan riang dan semangat. Aku salut padanya. Nani adalah temanku sekaligus teman Petir, walaupun Petir lebih dahulu mengenal Nani dibanding aku.

            Aku dan Nani tertawa menyaksikan adegan lucu dalam film. Tertawa keras kami menimbulkan orang-orang di sekitar kami melirik kami. Salah satu di antara mereka bangkit lalu menghampiri kami berdua.

            “Film apa nih, Nani?” tanya Petir yang menghampiri aku dan Nani yang tengah asik nonton film di layar komputer. Pertanyaan Petir memang diajukan pada Nani, namun bola mata dan senyumnyanya mengarah padaku. Aku tahu, ia sedang berusaha berdamai denganku. Nani merespon ucapan yang dilontarkan oleh Petir. Sementara aku diam. Tatapanku sengaja tetap ku arahkan pada layar komputer tanpa menghiraukan Petir. Melihatku responku yang datar. Petir sontak mengambil mouse yang sejak tadi dalam genggaman tanganku. Ia mendekatkan badannya ke arahku seraya melontarkan lelucon super garing agar aku tersenyum.

            Karena perasaan iba melihat usahanya berdamai denganku, aku membalas ucapannya dengan senyuman dan sesekali tertawa renyah. Aku tatap matanya. Kedua mata Petir berbinar. Jujur, aku sangat suka memandang kedua matanya yang seakan berbicara padaku. Aku adalah perempuan yang lebih percaya tatapan mata dibandingkan rangkaian kata. Jika dahulu aku yang tidak pernah bisa menatap balik mata Petir saat ia menatapku, belakang ini Petir lah yang sering mengalihkan padangannya saat aku menatapnya. Percayalah, tatapan kami hanya sebatas tatapan biasa dua anak manusia.

            Kekecewaan yang aku rasakan selalu sirna di penghujung garis senyumannya yang melengkung indah di wajahnya. Aku heran, aku juga sebal pada diriku sendiri, kenapa tidak bisa meluapkan amarahku padanya. Bagaikan gelas penuh air yang tinggal menunggu saatnya tumpah. Jangan pernah lelah menghadapiku. Seringkali aku lupa bahwa aku tidak ada apa-apanya tanpanya. Waktu dan peristiwa yang kita lalui bersama membuktikannya. Semoga selalu ada kesabaran yang Tuhan berikan untukku, untuk kita.

Buscar

 

Labels

About

Ma Petit Histoire Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger