Manusia Tulus kah Dirimu?

Entah kenapa akhir-akhir ini aku mudah sekali menangis. Lho, bukankah diriku memang tipe orang yang mudah menangis. Aku silakan kalian menyebutku cengeng. Ya memang inilah diriku. Daripada keluh kesahku ku limpahkan dengan misuh-misuh, seringkali seluruh keluh kesahku melebur menjadi tetes-tetes air mata yang mengalir tanpa diminta.

Barangkali aku terlalu capek dengan masalahku, tepatnya pada rutinitasku. Sebenarnya bukan masalah, melainkan banyak kesibukan yang menyita waktuku. Rasa capek itulah kadang membuatku mudah terbawa perasaan; mudah perasa. Sesungguhnya diriku lelah menjadi manusia yang mudah perasa.

Terkadang, aku masih saja mempertanyakan pada diriku sendiri. Mengapa masih ada orang yang percaya padaku; memberikan amanah padaku. Bukan maksudku untuk mengeluh, tapi mereka tahu bahwa aku bukan sepenuhnya orang yang benar-benar kuat seperti yang mereka lihat. Aku sedang berusaha menutupi kesedihanku. Padahal masih banyak orang lain yang tersisa di sana. Mengapa harus aku? Bukankah mereka juga layak dipercaya?


Dan yang paling membuatku gelisah belakangan (dua tahun) ini adalah salah seorang temanku. Aku pernah mengira mungkin dia satu-satunya orang yang paling tulus yang aku kenal. Namun, belakangan ini aku berpikir ulang apa mungkin orang yang tiap ku mintai tolong selalu sulit ini adalah temanku? Manusia yang benar-benar tulus? Aku terus berusaha menyangkal asumsi aneh dari pikiranku. Mulai detik ini harusnya aku sudah mulai sadar. Dia bukan manusia tulus yang aku tunggu. 

Pemakluman yang Berulang

Malam Ramadhan ke-25. Aku telah tiba kampung halaman. Sejak kepulanganku siang tadi menggunakan kereta dari Semarang. Lega rasanya. Setelah seminggu lebih bergelut dengan tugas-tugas ujian akhir semester, akhirnya semesta mengizinkanku menghirup udara segar setelah beberapa minggu terakhir merasakan sesak napas akibat tugas-tugas akhir bikinan dosen-dosen terhormatku itu. Sebenarnya aku sudah bisa kembali ke kampung halaman sejak Selasa kemarin, namun tanpa diduga salah satu dosen mengundurkan jadwal ujian. Aku harus merelakan kepulanganku pada hari Rabu. Di luar alasan itu, ada alasan lain mengapa aku memutuskan pulang hari Rabu. Alasanku adalah dia. Aku menyebutnya Petir. Tiba-tiba saja aku ingin memplesetkan namanya menjadi Petir. Dan itu terlintas saja di pikiranku.

            Manusia mudah dilanda bosan dan kesepian barangkali. Beberapa dari mereka belum bisa berdamai dengan rasa kesepian. Jika manusia bisa berdamai dengan kesepian, ia tidak akan merasa bergantung dengan benda bernama ponsel. Tanpa kecuali diriku sendiri. Aku sering mengutuki orang-orang yang tiap detik sibuk dengan ponselnya, bak mengidap autis. Nyatanya, aku sendiri masih sangat bergantung pada benda yang saat ini mengalihkan perhatian orang-orang dari buku. Ya.. ponsel telah mengalahkan eksistensi buku. Kita akan mudah menemukan orang memainkan ponsel dibandingkan membaca buku. Persis pemandangan yang biasa ku lihat di kereta. Sangat sulit menemukan orang yang sedang menunggu membunuh kebosanannya dengan membaca. Tapi, aku bersyukur, tadi siang aku masih melihat salah seorang penumpang kereta yang duduk di sampingku membaca sebuah novel di antara ratusan penumpang yang sibuk dengan gadget, ngobrol, dan tidur di kereta. Lantas, aku ingat sebuah buku yang ku pinjam dari kakak tingkatku karya Setyaningsih yang berjudul “Dari Buku Berakhir Telepon.” Buku yang berisi kumpulan esai mengenai hal-hal sederhana yang tidak kita sadari diungkapkan dan dianalisis secara rinci dan tidak terduga.

            Saat malam tiba dan kebosanan menyerangku, aku segera mencari dan membuka ponselku. Beberapa notifikasi dan pesan menyerbu untuk meminta dibaca. Salah satu dari pesan tersebut berisi deadline tulisan yang harus aku rampungkan untuk majalah kampusku. “Kau harus menyunting kembali tulisanmu yang terlalu kaku,” begitu yang disampaikan pimpinan redaksi majalah tersebut padaku malam lalu. Sebelum menyunting, aku pergi ke dapur mengambil sebuah gelas kosong untuk ku buat segelas cappucino sebagai teman menulisku. Cappucino yang sudah bisa segera ku teguk itu, aku bawa ke ruang tamu. Malam ini aku ingin menulis di ruang tamu sehingga aku bisa mendengar jelas lantunan ayat-ayat suci yang dilantunkan anak-anak yang tengah mengaji di masjid depan rumahku. Ah, jadi teringat masa kecilku. Dahulu aku juga seperti mereka. Selepas tarawih, aku dan teman-temanku membaca Quran di masjid. Ayat-ayat suci yang ku lantunkan dengan pengeras suara terdengar hingga ke telinga nenekku yang rumahnya agak jauh dari rumahku, tetapi satu desa denganku. Kata bulekku, nenek bangga mendengar cucunya sejak kecil pandai mengaji.

            Cappucino itu terus ku pandangi sebelum ia larut dalam kerongkonganku. Sial, aku teringat seseorang yang gemar minum kopi. Beberapa hari kemarin, baru saja ku buatkan dia segelas kopi hangat. Petir memang gemar kopi. Beberapa kali kami menikmati kopi bersama. Menurut pengamatanku, ia memang pecinta kopi. Dari kopi kemasan hingga kopi yang memang benar-benar diracik dengan rumit ia sukai. Dia pernah mengatakan padaku saat dia mengantarkanku kuliah bahwa ia juga menyukai kopi hitam. Saat itu aku masih ragu mendengar jawabannya. Setelah malam-malam yang kami lalui bersama dengan ditemani kopi, keraguan itu perlahan pudar. Aku percaya ia menggemari kopi seperti aku percaya pada segala ucapannya.

            Namun, kepercayaan yang aku bangun padanya berbulan-bulan lamanya itu perlahan memudar. Beberapa kali aku harus menelan kekecewaan akibat janji yang ia buat. Aku pulang membawa beberapa janji yang masih aku tunggu ia tuntaskan. Petir berjanji menemuiku siang itu di suatu tempat kami biasa bertemu. Siang itu, mentari terik sekali. Aku percepat langkah kakiku menuju tempat yang kami janjikan. Dia sangat perhitungan waktu bila bersamaku dibandingkan dengan yang lain, begitu juga aku. Selepas ujian, aku bergegas menuju tempat yang kami janjikan. Tiba di sana, tidak ku dapati batang hidungnya. “Mungkin ia terlambat,” pikirku menghibur diri. Aku membuka komputer jinjingku. Ku lihat beberapa note berisi tugas akhir yang menuntutku untuk dikerjakan. Semestinya, waktu yang luang saat itu bisa aku gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas akhirku, tetapi aku memilih bertemu dengan Petir. Satu jam berlalu. Aku tak kunjung melihat tanda-tanda kedatangannya. Ponselku berdering. Sebuah pesan masuk. Pesan dari Petir yang mengatakan bahwa ia tidak bisa menemuiku karena ada kuliah. Aku (harus) memakluminya. Tidak apa, waktu yang semestinya bertemu Petir aku gunakan untuk mengerjakan tugas akhir sampai aku tertidur di tempat itu, mengobati kantuk dan lelah yang ku rasakan. Andai ia tahu.

            Aku meneguk cappuccino yang terpaku di depanku. Rasa manis cappuccino tidak mampu mengganti rasa pahit kekecewaan yang Petir torehkan lagi. Kami berdua berjanji kembali untuk bertemu di tempat itu lagi. Aku datang lebih awal pukul 8 malam. Kali ini niatku adalah mengerjakan tugas akhir yang harus segera dirampungkan. Niat yang ku ubah itu tiada lain supaya aku tidak terlalu kecewa bila Petir mengingkari janjinya lagi. Seorang laki-laki yang telah aku anggap sebagai kakak pernah berkata padaku, kalau kamu tidak ingin kecewa, jangan pernah berekspektasi. Aku mematuhi perkatannya. Ponselku kembali berdering. Sebuah pesan masuk dari Petir. Ia akan datang pukul 10 malam. Timbul secercah cahaya pengharapan. Aku menunggunya. Sengaja aku mempersiapkan segelas kopi yang siap ku seduh bila ia datang. Pukul setengah sepuluh malam, Petir mengirimku pesan. Ia tidak bisa datang dengan alasan lelah karena seharian beraktivitas. Darahku seakan berhenti mengalir. Air mataku aku tahan agar tidak jatuh. Aku sengaja tidak membalas pesannya. Lagi-lagi aku merasa bodoh tertipu olehnya. Aku sepertinya harus membenarkan ucapan temanku yang juga teman Petir. “Jangan pernah berikan kepercayaanmu pada Petir seratus persen. Cukup sepuluh persen,” katanya.

            Aku tidak bisa pungkiri, aku kecewa pada Petir. Sebagai wanita, aku ingin dimengerti. Aku pun sadar bahwa aku juga harus memahami Petir. Barangkali dia memang tidak benar-benar sengaja mengingkari janjinya. Aku mencari informasi alasan Petir tidak bisa datang menemuiku. Seorang teman dekat Petir mengatakan, Petir menjadi salah satu panitia acara yang acaranya dilaksanakan dan berakhir petang tadi. Aku berpikir, barangkali Petir memang lelah karena menjadi panitia acara dan malamnya harus menunaikan janjinya bertemu denganku. Alangkah kejamnya aku jika tetap memaksanya menemuiku malam itu. Aku memakluminya lagi. Meskipun aku tidak bisa menampik kekecewaanku pada Petir.

            Berhari-hari setelah peristiwa itu, kami tidak saling berhubungan melalui telepon. Aku malas menghubunginya ataupun merespon segala hal tentangnya. Hingga beberapa hari kemudian kami dipertemukan dalam agenda yang sama. Aku sengaja hadir terlambat. Tiba di tempat itu, ku lihat telah banyak orang yang hadir termasuk Petir. Aku mengetuk pintu dan segera duduk mengelilingi meja besar di ruangan berisi tumpukan kertas itu. Ketukan pintu yang ku ketuk agak keras nyatanya tidak mengalihkan pandangannya terhadapku yang baru saja datang. Aku melihat Petir tengah asik dengan komputer jinjingnya dan teman ngobrolnya. Lebih jahatnya, dia tidak sekilaspun melirik kedatanganku. “Oh, mungkin dia tidak merasa bersalah sama sekali. Baiklah, tak apa.” batinku.

            Saat itu Petir juga tengah asik bercengkrama dengan seorang perempuan yang usianya satu tahun lebih tua darinya. Aku tahu tidak ada apa-apa di antara mereka. Rasanya aku tidak ingin mendengar suara obrolan mereka. Untuk menghindari mereka berdua, aku beranjak dari tempatku. Aku memilih (berpura-pura) menyibukkan diri menonton film dari layar komputer. Tidak lama kemudian, Nani menghampiriku dan duduk disampingku. Kami nonton bareng untuk mengalihkan perhatianku agar tidak terlalu peduli pada segala tindak-tanduk Petir saat itu. Nani adalah teman dekatku yang periang. Segala sesuatu yang dia lakukan selalu dijalani dengan riang dan semangat. Aku salut padanya. Nani adalah temanku sekaligus teman Petir, walaupun Petir lebih dahulu mengenal Nani dibanding aku.

            Aku dan Nani tertawa menyaksikan adegan lucu dalam film. Tertawa keras kami menimbulkan orang-orang di sekitar kami melirik kami. Salah satu di antara mereka bangkit lalu menghampiri kami berdua.

            “Film apa nih, Nani?” tanya Petir yang menghampiri aku dan Nani yang tengah asik nonton film di layar komputer. Pertanyaan Petir memang diajukan pada Nani, namun bola mata dan senyumnyanya mengarah padaku. Aku tahu, ia sedang berusaha berdamai denganku. Nani merespon ucapan yang dilontarkan oleh Petir. Sementara aku diam. Tatapanku sengaja tetap ku arahkan pada layar komputer tanpa menghiraukan Petir. Melihatku responku yang datar. Petir sontak mengambil mouse yang sejak tadi dalam genggaman tanganku. Ia mendekatkan badannya ke arahku seraya melontarkan lelucon super garing agar aku tersenyum.

            Karena perasaan iba melihat usahanya berdamai denganku, aku membalas ucapannya dengan senyuman dan sesekali tertawa renyah. Aku tatap matanya. Kedua mata Petir berbinar. Jujur, aku sangat suka memandang kedua matanya yang seakan berbicara padaku. Aku adalah perempuan yang lebih percaya tatapan mata dibandingkan rangkaian kata. Jika dahulu aku yang tidak pernah bisa menatap balik mata Petir saat ia menatapku, belakang ini Petir lah yang sering mengalihkan padangannya saat aku menatapnya. Percayalah, tatapan kami hanya sebatas tatapan biasa dua anak manusia.

            Kekecewaan yang aku rasakan selalu sirna di penghujung garis senyumannya yang melengkung indah di wajahnya. Aku heran, aku juga sebal pada diriku sendiri, kenapa tidak bisa meluapkan amarahku padanya. Bagaikan gelas penuh air yang tinggal menunggu saatnya tumpah. Jangan pernah lelah menghadapiku. Seringkali aku lupa bahwa aku tidak ada apa-apanya tanpanya. Waktu dan peristiwa yang kita lalui bersama membuktikannya. Semoga selalu ada kesabaran yang Tuhan berikan untukku, untuk kita.

Dari Adel Untuk Mba Pipit

16 JUL

Dari Adel Untuk Mba Pipit



Mba Pipit adalah kakakku satu- satunya. Mba pipit orangnya pintar, cantik, baik, rajin belajar, dan sabar. Mba Pipit selalu menyuruhku untuk membaca atau menulis. Mba Pipit sekarang kuliah di Universitas Negeri Semarang dan tinggal di Semarang. Kadang kalau mba Pipit pulang ke Tegal, aku dikasih hadiah dan diajak jalan-jalan. Setiap aku ulang tahun, mba Pipit selalu memberiku kado. Tapi, kalau mba Pipit ulang tahun aku nggak pernah memberinya kado. Kadang kalau aku tidur sama mba Pipit, mba Pipit suka bercerita tentang teman-teman nya.
Mba pipit selalu mengantar aku untuk beli sesuatu yang aku pengin. Mba Pipit suka minum kopi dan susu juga suka makan batagor. Mba Pipit suka gangguin aku tidur dan bangunin aku untuk sholat subuh.

Fakta mba Pipit:
- baik, pinter
- suka baca buku
- tepat waktu
             - minta dibeliin kopi+ dibuatin
- kadang nraktir aku
-suka dengerin musik

Kurang lebih seperti itu fakta nya mba Pipit. Waktu aku SD, mba Pipit juga sering bantuin ngerjain tugas sekolahku. Dulu,waktu aku dan mba Pipit masih kecil, aku dan mba Pipit pernah main masak- masakan pakai wajan beneran, tapi Mama enggak marah. Hahaha.
Aku punya banyak pengalaman lucu bareng mba Pipit. Beberapa bulan yang lalu aku nganter mba Pipit potong rambut di salon. Mba Pipit bingung bagian belakang mau dipotong apa nggak. Ini percakapan antara T (tukang salon) dan M (mba Pipit):
T: "bagian ini mau dipotong, mba pipit?”
M: “iya dipotong”
.....Pas udah dipotong.......
M: “eh jangan deh”
T: “Yah, udah terlanjur dipotong.”
Pas sampe rumah mba pipit ngledekin aku jadi aku balas ngledekin tentang peristiwa di salon itu.
Selamat ulang tahun Mba Pipit semoga panjang umur, sehat selalu, tambah rajin belajar, dan makin sayang sama aku dan keluarga. Salam J

Adekmu, 
Adelia Salsabila

¡Compá

[Resensi Film] Ayah Menyayangi Tanpa Akhir

Ayah Menyayangi Tanpa Akhir. [Doc. gambar: http://static.republika.co.id/]

Lagi, film Indonesia yang diadaptasi dari novel karya penulis Indonesia. Film yang diadaptasi dari karya penulis Kirana Kejora dengan judul yang sama dengan novelnya; Ayah Menyayangi Tanpa Akhir. Kisah pertalian cinta antara Jepang dan Pribumi menjadi pemula mengawali film bernuansa sendu ini.

Awal kisah cinta antara Arjuna Dewantara (Fedi Nuril) dan wanita Jepang, Keisha Mizuki diceritakan dalam narasi yang dituturkan oleh Mada, anak semata wayang mereka. Serupa halnya dengan Jepang dan Indonesia, Juna dan Keisha berupaya mencari jalan untuk merdeka. Kisah kasih yang terjalin sejak masa kuliah harus terbentur latar belakang budaya masing-masing negara. Keluarga Juna yang merupakan keluarga Jawa kolot tidak bisa menerima Keisha, gadis asli keturunan Jepang yang tengah mencari ilmu di Indonesia.

Sikap ibunda Juna yang keras yang tidak merestui cinta Juna dan Keisha, tidak menghalangi niat Juna untuk menjemput Keisha di pelaminan untuk menjalani hidup berdua. Respon kedua keluarga yang sama-sama tidak merestui hubungan Juna dan Keisha dijelaskan gamblang dalam novelnya. Di dalam film, hanya dijelaskan keluarga Juna yang menolak keras  kehadiran Keisha menjadi bagian dari keluarga Juna. Respon keluarga Keisha tidak diketahui oleh para penonton film ini.

Kehilangan Keisha di saat kehadiran Mada ke dunia menjadi pukulan berat bagi Juna. Meskipun tidak diviualisasikan secara gamblang dalam film. Agaknya Juna mudah bangkit dan bersiap menjadi orangtua tunggal bagi si kecil Mada. Suatu rumus yang menegaskan bahwa laki-laki tidak bisa hidup tanpa perempuan, sementara perempuan tetap bertahan tanpa laki-laki di sampingnya, memang benar adanya. Tidak berapa lama sejak kepergian Keisha, Juna segera mencari pembantu untuk membantu pekerjaan rumah sekaligus merawat Mada kecil. Mbok Jum sapaannya, ia adalah pembantu yang dahulu bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga Juna.

Bagi kaum Hawa yang mendambakan sosok sholeh, tampan, dan beriman seperti aktor Indonesia Fedi Nuril. Kadar kecintaan pada Fedi Nuril dipastikan akan meningkat drastis. Di film-film sebelumnya, Fedi Nuril selalu berperan menjadi laki-laki bijaksana, bertanggung jawab, dan penyayang keluarga. Tidak mengherankan ia digilai oleh banyak wanita yang mendambakan sosok “suamiable” sepertinya. Serupa di film ini, Fedi Nuril ditantang menjadi seorang ayah yang mendidik dan merawat putra semata wayang tanpa didampingi oleh  istri di sampingnya. Penonton yang barangkali didominasi oleh kaum hawa akan terpesona ketika menyaksikan adegan Juna (Fedi Nuril) yang mengajak bermain bayi, memeluk dan menciumi bayi itu lekat-lakat tanda kasih sayang seorang ayah.

Selain terpukau dengan adegan yang disebutkan tadi, penonton akan terhanyut oleh perasaan iba pada nasib Juna dalam film tersebut. Kehilangan menjadikan seseorang harus siap menghadapi segalanya sendiri.

Hubungan Ayah dan Anak
Kasih sayang seorang ayah tak ubahnya kasih sayang seorang ibu pada anaknya. Ayah menyalurkan kasih sayang melalui ketegasannya, sedangkan ibu melalui kelembutannya. Sosok Juna terlihat sebagai ayah yang tegas bagi Mada. Seperti ayah-ayah pada umumnya, sosok ayah sebenarnya penuh kasih sayang dan khawatir dibalik diamnya. Jika seorang ibu segera menelepon anaknya yang tak kunjung pulang, berbeda bagi ayah. Tahukah anda bahwa yang menugaskan ibu menelpon adalah ayah. Seperti itulah gambaran perhatian ayah dan ibu pada anaknya.

Adegan-adegan mengharukan hadir sepanjang film tersebut. Menjadi seorang ayah yang harus merawat anak yang sakit keras tanpa kehadiran sosok ibu bukan hal yang pernah dipikirkan Juna. Saat Mada merasakan puncak kesakitan dimana sel-sel kanker menyerang otaknya, Juna hanya bisa mendekap untuk menenangkan serta turut merasakan kesakitan yang dialami Mada tanpa berkata-kata. Juna bisa menjadi seorang ayah, ibu, teman, dan guru bagi Mada. Seringkali mereka terlibat diskusi bersama membahas tentang sejarah, olahraga, dan cinta.

Sikap tegas Juna yang diaplikasikan dalam mendidik Mada tidak berhenti saat kondisi Mada sehat. Bahkan saat Mada positif divonis menderita kanker otak, ketegasan Juna tetap berlanjut dalam mendidik Mada demi kesehatan Mada pulih kembali. Di sana kita akan melihat bahwa ketegasan dalam mendidik tidak selamanya berkonotasi buruk. Juna membuktikan rasa kasih dalam ketegasan mampu mendidik anak tumbuh menjadi pribadi yang penyayang, berkemauan keras dan bertanggung jawab seperti Mada.

Satu-satunya konflik yang menarik dan sedikit memicu tawa adalah dalam film ini adalah ketidaksepahaman antara Juna yang berprofesi sebagai apoteker dan Dean (red: Din), sahabat Juna yang merupakan seorang dokter dalam mencari solusi untuk  menyembuhkan kanker yang diderita Mada. Keduanya memiliki argumen masing-masing yang bertujuan sama yakni menyembuhkan  seorang pasien penderita kanker dimana semestinya keduanya bisa bekerja sama dalam bidang yang saling berkaitan itu. Dean menyadari sepenuhnya posisi Juna tidak hanya sebagai seorang apoteker saja, sekaligus seorang ayah bagi anaknya yang divonis kanker otak.  Seorang ayah yang profesinya di luar bidang kesehatan akan melakukan apa saja demi kesembuhan anaknya. Apalagi Juna yang  ditakdirkan sebagai apoteker yang mengetahui seluk beluk dunia kesehatan, maka akan berusaha meracik obat untuk mematikan sel-sel kanker yang menyerang otak anak semata wayangnya itu.

Ada beberapa hal yang menimbulkan pertanyaan dalam film ini. Di akhir film terdapat adegan Juna kembali bertemu kembali dengan keluarganya. Saat pertemuan antara Juna dan ibu serta kakak-kakak kandung Juna tidak ada dialog yang mewarnai adegan mengharukan tersebut. Lantas, apa yang membuat ibunda Juna mau menerima kembali? Apakah kematian Mada adalah alasan satu-satunya yang meluruhkan kerasnya ego ibunda Juna?

Ayah Menyayangi Tanpa Akhir bercerita tentang perjuangan, kesabaran, pengorbanan dan ikhlas menerima serta rekonsiliasi hubungan orangtua dan anak. Meskipun alur cerita mudah ditebak, namun dipastikan tidak akan segera menghentikan untuk mengakhiri menonton film ini. Kisah kompleks yang dibungkus secara sederhana ini akan terus mengajak penonton untuk hanyut dalam adegan tiap adegan. Cerita yang lebih menonjolkan Juna dan Mada ini memang ingin menyampaikan pesan bahwa cinta ayah pada anak tiada akhir. Tokoh Juna hadir menegaskan bahwa laki-laki bisa mendidik anak dengan caranya sendiri.  Sepeninggal Mada, Juna yang kini tiada anak dan istri di sampingnya memilih menjadi laskar yang membantu orang-orang yang membutuhkan di pelosok Indonesia dalam bidang kesehatan. Dari Mada, ia belajar menjadi ayah yang kuat. Dari Mada, ia memilih menjadi ayah bagi anak-anak di seluruh dunia. 

Sepenggal Jejak di Jogja


Menjalin pertemanan nampaknya kurang lengkap jika belum berpetualang bersama. Baru saja kami pulang berpetualang bersama setelah sekian lama merencanakan liburan dengan dalih piknik pascaUAS akhirnya terealisasi juga. Kota Yogyakarta yang “katanya” istimewa kami pilih sebagai tempat yang akan kami explore. Merencanakan liburan nyatanya tidak semudah yang dikira. Aku harus mengusahakan semuanya harus ikut. Yaa.. meskipun dari kesebelas awak hanya delapan awak yang bisa ikut. Setelah memastikan delapan orang fix ikut explore Jogja, aku juga harus menyusun susunan acara supaya gak bingung mau ngapain ketika di sana. Lagi-lagi ideku bikin susunan acara disambut ledakan tawa oleh kawan-kawan dan langsung dapat sebutan istimewa “sie acara”.
Kumpul di kantor BP2M, UKM lantai 2

            Seperti biasa, bukan kami namanya kalau kumpul tempat waktu. Janjian Kamis sore (21/01) pukul 2 siang, tetapi baru kumpul semua pukul 3 sore. Alhasil, rencana Teguh yang ingin menikmati senja di kota pelajar gagal karena tiba di Yogyakarta malam hari. Banyak orang mengatakan, masakan kurang sedap tanpa bumbu. Serupa halnya petualangan kami, banyak sekali tragedi-tragedi kecil yang mewarnai petualangan kami. Sebelum pemberangkatan masih saja ada drama kecil sebagai pelengkap. Terlebih saat perjalanan hingga tiba di Kota Pelajar itu.

            Perjalanan kami disambut oleh rintik hujan yang turun dari langit Kota Semarang. Karena beberapa orang tidak ada yang membawa jas hujan, kami berhenti di sebuah minimarket untuk membeli jas hujan. Aku yang sejak kecil lebih memilih berhujan-hujanan daripada memakai jas hujan harus berkompromi memakai jas hujan plastik berwarna-warni sore itu. Ternyata tidak terlalu buruk memakai jas hujan, ukurannya yang lebar dan bentuknya seperti gaun para princess Disney membuatku merasa bagaikan princess Belle yang memakai gaun warna kuning karena jas hujanku pun berwarna kuning. Tidak hanya aku saja yang mengenakan jas hujan plastik warna-warni, beberapa orang diantaranya Micil, AL, Siska dan Imron pun mengenakannya. Kami semakin mirip teletubbies.

            Perjalanan kami lanjutkan. Tidak berapa lama, kami memutuskan berhenti di sebuah rumah di samping minimarket (lagi) karena hujan turun dengan derasnya. Entahlah, kenapa setiap pemberhentian kami selalu berhenti di minimarket. Tanyakan saja pada Rais. Kami hanya mengikutinya dari belakang. Beberapa orang memesan kopi hangat dan makanan ringan, sementara yang lainnya membantu menghabiskannya. Kami memang kompak kalau soal itu.

Sekitar setengah jam berteduh dan hujan belum sepenuhnya reda, kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah mushola kecil di Magelang untuk menunaikan kewajiban. Di mushola itu, aku bertemu warga sekitar yang ramah. Saat sedang mengambil air wudhu, seorang ibu paruh baya menghampiriku seraya berkata, “Nak, ibu minta do’anya ya..” Usai mengambil air wudhu, aku menjabat tangannya, “Oh iya bu.. Saya doakan. Kalau boleh tau, doa untuk apa ya?” Aku kira ibu paruh baya itu meminta didoakan supaya segera naik haji atau sawahnya segera panen atau mungkin didoakan agar dikaruniai cucu yang banyak. Ternyata ibu itu menjawab, “Tolong doakan ibu ya supaya cepet dilamar sama Pak Bupati.” Aku tercengang berusaha menahan tawa agar tidak menyinggung perasaan wanita paruh baya itu. Setelah aku konfirmasi ke beberapa orang warga yang juga sedang beristirahat, memang benar, wanita paruh baya yang meminta didoakan itu kurang sehat jiwanya. Wanita itu merupakan mantan karyawan di salah satu tempat makan langganan Pak Bupati yang letaknya depan mushola yang aku singgahi itu. Meskipun jiwanya kurang stabil, aku salut dengan wanita itu, ia tetap rajin beribadah dan berdoa supaya hajatnya dikabulkan.
Makan malam di warung Lamongan

            Usai menunaikan kewajiban, kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Yogyakarta. Di tengah perjalanan beberapa perut sudah minta diisi. Alih-alih rencanaku yang ingin menikmati suasana angkringan Yogyakarta harus pudar karena Rais berhenti di sebuah warung makan lamongan di tepi jalan Magelang. Awalnya aku kurang sreg dengan tempat yang dipilih karena tidak sesuai ekspektasiku. Aku lebih suka makan bersama dengan suasana lesehan karena bisa mempererat keakraban. Nah, di warung makan lamongan itu kami duduk di atas kursi berjejer menghadap si penjual makanannya. Namun, ternyata aku salah duga. Meskipun duduk berjejer tanpa menghadap satu dengan yang lain, kami masih bisa bersenda gurau di atas meja makan. Tata letak tidak akan mengubah suasana, tiada lain kita sendirilah yang mampu membawa arah suasana.
            Setelah berjam-jam di perjalanan, akhirnyaaa tiba lah kita di Jogja. Beberapa kali teriak gak jelas karena motor Teguh hampir nyerempet kendaraan lain di Jogja. Parahnya, kita melanggar lampu lalu lintas dan respon Teguh hanya, “Woh! Kalau siang hari, kita udah dikejar.” Tidak masalah bagiku, suatu pengalaman seru melanggar lampu lintas (lagi) di kota orang.

            Sampailah kita di Jogja. Jogja malam hari memang tidak jauh berbeda dengan kota lain. Jogja malam itu terasa sepi menurutku, entah menurut kawan yang lain. Rencana awal tiba di Jogja adalah berburu oleh-oleh khas Malioboro, tetapi gagal karena hampir sebagian para penjual tengah menutup kiosnya karena hari sudah malam. Terlebih ketika AL yang berada di posisi paling depan mengarahkan kami menuju alun-alun Jogja dekat keraton yang membuat para cowok diantaranya Rais, Teguh, dan Imron bete karena tidak masuk akal bila bermain di alun-alun larut malam mengingat kondisi fisik kami sudah sangat lelah.
            Dengan berbagai pertimbangan salah satunya karena ada beberapa sarang penyamun di sana, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Pakdhenya AL. Perjalanan menuju ke sana juga diwarnai berbagai kisah lucu. Mulai dari AL yang lupa jalan menuju rumah Pakdhenya yang membuat kita berhenti di tepi jalan menunggu Pakdhenya AL menjemput. Betapa mengharukannya pertemuan antara Pakdhe dan keponakannya itu. Hohoho. Sekitar 15 menit kemudian kami disambut hangat oleh Pakdhe beserta istrinya dengan teh hangat dan bakpia serta buah pisang. Rumah Pakdhe mungil tetapi sangat nyaman bagiku. Seperti biasa, kebiasaan unikku muncul, aku ingin punya cita-cita: Aku ingin punya rumah mungil yang nyaman. Itu memang cita-citaku sejak kecil sih.. Pokoknya sebuah rumah mungil penuh bunga-bunga mirip gambar rumah di buku pelajaran Bahasa Indonesia saat aku duduk di bangku sekolah dasar dulu. Hihiw..
            Mengingat ini adalah perjalanan religi, kami para muslim dan muslimah tentu saja tidur terpisah. Bukdhe mempersilakan kaum Hawa untuk tidur di kamar tidur, sementara kaum Adam tidur di ruang tengah bergelar tikar. Aku pun tidur beralaskan tikar bareng Micil. Tidak masalah beralaskan tikar, selama ada bantal guling semua akan baik-baik saja karena sejak kecil aku memang terbiasa tidur dengan bantal guling guna menyandarkan kepala dan bantal biasa untuk dipeluk. Kebalik gak sih? Hahaha. Karena menurutku, sesuatu yang berbeda itu keren! Beberapa kali bolak-balik kamar dan ruang tengah karena ada perlu terkait charger ponsel dan mukenahku yang basah.
Sarapan di rumah Budhe

            Pukul 04.30 WIB pagi alarmku bunyi tepat saat adzan subuh berkumandang. Aku mengucek-ucek mataku kemudian bangkit membangunkan AL, Dian, Micil, dan Siska. Karena responnya hanya, “Hhmm..” dan “Iyaa, Yun..” aku menyerah dan bergegas mengambil air wudhu. Respon yang didapat pun sama ketika membangunkan Rais, Teguh, dan Imron. Hufff.. dedek lelah. Sembari menunggu, aku bertanya pada AL, “Mba AL, kiblatnya kemana?” AL menjawab sembari menahan kantuk, “Ke sana.” Setengah jam kemudian tepat pukul 05.00 WIB, Teguh bangun disusul Rais, Mereka bergegas mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat subuh. Salah satu dari mereka berdua bertanya, “Yun, kiblatnya kemana?” “Ke sana” sahutku seraya menunjuk arah. Kami bertiga pun menunaikan sholat subuh. Usai menunaikan sholat, AL berujar, “Kok kalian kiblatnya ke sana?” Ah, sudah dapat ditebak mereka akan menyalahkan siapa. Xoxoxo. Akibat kejadian itu, kami bertiga dicap sebagai the next Gafatar.
            Usai sholat subuh, kami duduk bersama menunggu pagi (halahh zzz) padahal kalau di rumah/kos/kantor yo mesti masih tidur. Rais dan Teguh kembali melanjutkan merajut mimpi yang terhenti. Sementara kami para cewek mengabadikan moment di rumah Pakdhe dan Budhe dengan berselfie ria. Muka-muka abis bangun tidur mewarnai foto-foto selfie kala itu, terlebih aku yang matanya gampang sembab dan kian sipit tiap bangun tidur. Tidak berapa lama, Budhe datang membawa dua bungkus plastik hitam besar berisi nasi bungkus dan gorengan serta teh hangat untuk kami. Aku membangunkan Teguh dengan mendekatkan sebuah nasi bungkus ke indra penciumannya. Sementara Rais, tanpa harus mendekatkan makanan ke hidungnya, ia sudah mencium aroma makanan yang berhasil membuatnya bangkit dari tidur. Pagi itu sangat cerah, kami menuju halaman samping rumah. Rencananya sih mau olahraga, menyadari bahwa kami mahasiswa super sibuk yang tiap hari dikejar deadline sehingga lupa berolahraga. Tidak sampai lima menit, kegiatan olahraga tiba-tiba berubah menjadi kegiatan selfie dan ngambil buah kresen langsung dari pohonnya. Sembari menunggu yang lain mandi, aku mengajak Micil mencari tukang jual pulsa. Pakdhe memberitahukan bahwa letak rumah penjual pulsa berada di sebelah rumah Pakdhe. Setelah kami ke sana, ternyata si penjual pulsa sedang tidak ada saldo pulsa. Akhirnya, aku dan Micil meminjam motor Imron dengan alasan mencari penjual pulsa, padahal ada alasan lain yakni ingin menikmati suasana Jogja pagi hari dengan berkeliling. Arah Timur, Barat, Utara, dan Selatan sudah kami singgahi, tetapi belum ada satu pun gerai penjual pulsa yang buka, bahkan bisa dibilang jarang penjual pulsa. Aku sempat memberi saran pada Micil, “Mba, kamu jual pulsa sekitar sini dijamin laku keras, sebab yang jual masih jarang.” Kemudian kami kembali ke rumah Pakdhe tanpa hasil. Pakdhe menyarankan untuk membeli pulsa di tetangganya yang letak rumahnya persis di belakang rumahnya. Aku jadi mikir, “Terus ngapain tadi muter-muter gak jelas? Tapi seneng juga sih bisa menikmati jalanan Jogja pagi hari.” Rumah si penjual pulsa itu ternyata dijaga oleh seekor anjing hitam galak pula. Bener-bener perjuangan bisa masuk halaman rumah itu, Pakdhe juga jagain aku dan Micil dari anjing galak itu. Aku harus balik lagi ke rumah itu untuk kedua kalinya untuk membayar kekurangan yang harus dibayar. Karena gak enak merepotkan Micil lagi, aku meminta tolong Imron untuk mengantarku pakai motor ke rumah yang dijaga anjing hitam itu. Pulangnya sempat muterin gang sekitar situ, ternyata ada tugu berbentuk buah mangga berwarna hijau. Aku jadi penasaran, mengapa tugunya berbentuk buah mangga. Apakah daerah tersebut merupakan daerah penghasil mangga. Setelah itu, kami semua siap-siap bergegas menuju tempat petualangan yang kami sendiri gak tahu mau ke mana sebenarnya. Tak lupa kami berpamitan kepada Pakdhe dan Bukdhe yang udah baik banget. Pokoknya super baik!! Matur suwun Pakdhe dan Budhe. Sehat selalu yaa.
Thawaf

            Perjalanan kami lanjutkan menuju Kota Yogyakarta tepatnya Malioboro. Kendaraan diparkir di parkiran pasar Beringharjo. Jalan kaki lah kita menuju titik nol kilometer. Padahal aku ingin jalan kaki pada malam hari. Meski udah pernah bahkan setiap ke Jogja sering jalan-jalan kaki malam hari di sekitar titik nol kilometer. Entah kenapa kami seperti melakukan tawaf. Dari benteng Vredeburg lanjut ke taman pintar meski cuma numpang ambil gambar doang. Gak lengkap rasanya sudah sampai di Pasar Beringharjo tanpa membeli buah tangan dari sana. Kami para cewek berburu buah tangan, sementara kami biarkan para cowok menunggu di parkiran. Hahaha. Diajakpun pasti mereka akan menolak karena aku tahu bahwa hampir sebagian besar laki-laki paling males nemenin perempuan belanja. Sebagai teman yang budiman, aku membelikan sebuah totebag untuk teman sekamarku. Sedangkan AL membelikan dua stel kemeja untuk pacar yang populer disapa Papah, bahkan ia tidak membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Kamu kok keren banget sih, mba AL.. Si Papah untung banyak ini mah. Langgeng terus yak!
Di depan Benteng Vredeburg

            Setelah puas berburu oleh-oleh, perjalanan kami lanjutkan menuju Gunung Kidul. Aelah.. jauh-jauh dari Gunungpati mainnya ke Gunung Kidul. Kata AL, jalanannya naik turun gitu. Ternyata benar, tapi lumayan jalanannya mulus. Selain itu, kami disambut pepohonan dan bukit hijau yang melintang. Perjalanan menuju Gunung Kidul tidak semulus yang kami kira. Lagi-lagi AL lupa arah rumah Pakdhenya, kami jadi mempertanyakan asal-usul AL sebagai wong Jogja. Hahaha. Hari itu memang hari Jumat, teman-teman kami khususnya Imron, Rais, dan Teguh harus melaksanakan sholat Jumat. Terlebih Teguh yang sejak tadi menanyakan, “Sekarang jam berapa?” dan pandangannya gak lepas tiap liat masjid. Tiba-tiba motor Imron berhenti, AL turun menghampiri seorang nenek dan bertanya arah jalan. Entah apa sebab musababnya, ketiga cowok itu pergi menuju masjid terdekat untuk melaksanakan sholat Jumat dan menitipkan aku, AL, Dian, Siska, dan Micil di rumah milik nenek tadi. Sembari menunggu Teguh, Imron, dan Rais kembali. Kami berlima beristirahat, menjemur sepatu, dan sholat dzuhur. Nenek pemilik rumah sangat ramah dan baik hati. Dia menawarkan untuk beristirahat sejenak di tempatnya dan menyiapkan minuman untuk kami. Dia sempat bercerita padaku, “Ini tidak seberapa, Nak. Saya juga punya cucu seusia kalian yang sedang menempuh bangku kuliah pula. Dia juga suka travelling, saya berharap ada orang yang membantu cucu saya ketika dia sedang berada di kota orang.” 
            Namanya juga generasi colokan, Siska dan AL langsung meminta izin ngecharge ponselnya. Aku sholat dzuhur pakai mukena milik Dian karena bawahan mukenaku tertinggal di rumah Pakdhenya AL. Setelah ketiga cowok itu kembali, kami pamit ke nenek itu untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Pakdhenya AL (lagi). Tak lupa kami meminta ditunjukkan jalan supaya kembali ke jalan yang benar. Ternyata kami kelewatan, seharusnya di perempatan lalu belok kiri, tetapi kami malah lurus. Tidak berapa lama, tiba lah kami di sebuah rumah yang menjajakan dagangan di depan rumahnya. Kami disambut hangat di rumah Budhenya AL. Hampir semua jajanan dagangan dipersembahkan untuk menjamu kami tamu yang tidak diundang. Sekitar sejam beristirahat, kami berencana mengexplore wisata pantai. Tak lengkap bila berkunjung ke Gunung Kidul yang kaya akan aneka ragam pantai, tetapi tidak mampir ke salah satu pantainya. Pantai yang akan kami singgahi bernama Pantai Ngeden. Selain karena namanya yang unik dan sulit diverbalkan (bingung harus mengucap antara fonem e dan E), pantai tersebut juga tidak terlalu ramai. Ooo, sekarang aku tahu kenapa pantai ini tidak begitu ramai dibanding pantai lainnya. Untuk mencapai pantai Ngeden, kami harus menempuh jalan yang berkelok-kelok, naik-turun bukit, mengikuti jalan setapak yang sempit. Sulit bagi yang ingin menempuhnya dengan kendaraan roda empat.
Pantai Ngeden

            Tiba di sana, kami disambut deburan ombak yang bergulung indah menampar karang-karang. Subhanallah.. pantai yang kemarin hanya bisa aku lihat melalui instagram, kini aku menjejakan kakiku di tempat yang aku sebut bocoran surga ini. Ketika teman-teman mengusulkan untuk ke pantai, keinginanku sederhana saja, pasir pantainya harus berwarna putih. Langsung deh, disembur Rais, “Ya iyalah, putih..” Aku diem aja sih, gak nanggepin. Sebenarnya pengen nanggepin, “Warna pasir pantai di kotaku hitam. Melihat pasir pantai berwarna putih merupakan suatu keniscayaan bagiku.” Tiba di sana, aku langsung ambil gambar baik sendiri maupun bersama kawan-kawan. Sengaja karena aku sedang berusaha meminimalisasi selfie/foto karena ingin menikmati pantai sesungguhnya. Tepat kemarin malam, saat kami sedang nongkrong di warung kopi, mas Aziz berujar, “Mengambil gambar akan mengurangi keindahan pemandangan suatu tempat. Percaya deh!” Aku resapi kalimat itu. Yaa.. meskipun aku tetep selfie, tetapi dijamin tidak sebanyak yang lainnya. Sampai rumah, aku gak menyesal dan merasa baik-baik saja karena merasa puas menikmati Pantai Ngeden. Merasakan deburan ombak yang membuat celana panjangku basah kuyup, berguling di pasir putih, duduk di atas karang memandangi langit, berkejar-kejaran saling melempar pasir, dan melihat kawan-kawanku tersenyum. Kebahagiaanku lengkap hari itu.

            Sebelum pulang, kami melaksanakan sholat ashar di surau dekat pantai. Tempat untuk mengambil air wudhu berbentuk kendi. Usai shalat, kami kembali menuju tempat penginapan yakni rumah Budhenya AL. Belum lama perjalanan pulang, tetesan air dari langit menjatuhi kami pertanda akan hujan. Sedia jas hujan warna-warni sebelum hujan! Itu menjadi motto kami saat itu. Aku dan Teguh jauh meninggalkan teman-teman yang tertinggal di belakang, tetapi percuma sih paling depan kalau lupa jalan. Hahaha. Akhirnya, kami nunggu Rais dan Imron yang tertinggal di belakang. Teguh bilang, “Kayaknya arahnya ke sana deh bukan kesitu.” Aku jawab, “Masa sih? Kita ngikut aja, sapa tau bener daripada nyasar sendiri.” Sempat gak yakin karena gak nyampe-nyampe. Berkat Rais, akhirnya kita tiba di rumah Budhenya AL. Kemampuan Rais dalam mengingat jalan tidak perlu diragukan lagi. Pokoknya dia laiknya kompas bagi kita lah! #SaveRais!


              Senja sebentar lagi tenggelam digantikan malam. Kebahagiaan kita kian lengkap karena pakaian dan celana basah kehujanan, tidak mandi sore, ditambah listrik padam. Apalagi baterai ponsel belum penuh dicharge. Akan tetapi, ada hikmah yang bisa dipetik dari listrik padam ini. Masing-masing dari kami yang sejak tadi sibuk dengan gadget harus rela mengikhlaskan untuk tidak bermain gadget karena lowbat. Agenda berubah menjadi berbincang hangat mengelilingi lilin kecil, berebut bantal, saling ngebully, dan ngemil jajan dagangan Budhe. Semestinya agenda ngobrol itu lakukan di Bukit Bintang. Lagi-lagi aku harus menerima kenyataan pahit belum bisa singgah ke Bukit Bintang mengingat hujan deras malam itu.
            Tidak seperti kemarin malam, malam itu kami tidur lebih awal. Apalagi kami para cewek diusir dari ruang tamu untuk segera pindah ke kamar tidur karena kaum lelaki itu ingin tidur di ruang tamu. Perintah dari Rais, Imron dan Teguh tak kami hiraukan. Setelah listrik kembali hidup, kami sibuk memindahkan file foto selama di Jogja sembari minum kopi dan ngemil. Kemudian kami pindah ke kamar tidur. Aku tidur di kasur bawah, sedangkan AL, Micil, dan Dian tidur di kasur atas. Menjelang subuh, aku bangun lalu membangunkan kawan-kawan yang lain. Ternyata aku menemukan Siska sedang tidur di kursi ruang tamu. Rupanya sejak semalam dia memilih tidur di ruang tamu, padahal AL sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar tidur. Aku balik ke kamar mengambil sebuah selimut untuk menyelimuti Siska yang terlihat kedinginan berselimutkan selimut tipis. Sengaja aku tidak membangunkannya karena dia sedang tidak sholat.
            Pagi hari, rupanya kami telah disiapkan sarapan sebelum  pulang ke Semarang. Padahal rencananya, kami akan makan di luar karena sudah terlalu banyak merepotkan keluarga ini. Sudah diberikan tempat untuk berteduh saja kami sangat bersyukur.  Di tengah perjalanan pulang, ada saja hal-hal kecil yang terjadi. Ban motor Imron dan AL bocor sehingga kami harus merelakan waktu untuk terlambat pulang ke Semarang. Rais dan Micil yang berada di barisan paling depan tidak tahu bahwa ban motor Imron dan AL bocor, tetapi tidak masalah karena komunikasi kami yang lancar, Rais dan Micil putar balik menghampiri kami. Ternyata tidak membutuhkan waktu lama untuk menambal ban. Kami bisa melanjutkan perjalanan menuju Semarang. Di tengah perjalan hampir dekat dengan Kabupaten Semarang, hujan kembali menyertai kami selama perjalanan pulang sehingga kami harus mengenakan kembali jas hujan warna-warni.
            Entah di bunderan apa, Rais menurunkan Micil di jalan. Rupanya Micil hendak pulang kampung saat itu juga. Kami bertujuh hanya bisa mengantarkan sampai bunderan itu. Alhasil, Rais sendirian tanpa teman boncengan hingga tiba di Gunungpati. Rais jadi pemimpin kami menyusuri jalananan. Dia bak Patih Gadjah Mada dan kami berenam seperti pengikutnya. Beberapa kali spot jantung karena Teguh nyelap-nyelip truk-truk besar mengikuti Rais. Sudah waktunya sholat dzuhur, kami beribadah di mushola SPBU. Sempat terjadi perdebatan sengit karena Teguh ingin sholat dzuhur di kos karena gerah belum mandi pagi sejak masih di Gunung Kidul, sementara yang lain ingin segera menunaikan sholat.  Tiba di jalan dekat alun-alun Ungaran, aku, Dian, Teguh dan Siska mencopot jas hujan sembari menunggu yang lain yang tertinggal jauh di belakang. Kemudian kami pulang menuju kos masing-masing. Berakhirlah piknik yang kami idam-idamkan sejak zaman masih magang Express. Banyak hal-hal yang tidak terduga terjadi selama piknik di Jogja. Banyak rencana dan keinginan yang ingin aku lakukan di Jogja, tetapi belum bisa dilaksanakan seperti makan di angkringan, ngobrol bercengkrama bersama kawan-kawan memandang bintang di bukit bintang, jalan kaki menikmati Jogja malam hari, menunjungi perpustakaan terbesar seAsia Tenggara, dan mencicipi kuliner khas Jogja. Ternyata Tuhan punya rencana lain, adanya hujan deras saat malam hari dibarengi listrik padam membuat kita meninggalkan sejenak gadget masing-masing untuk sekadar ngobrol berbagi bermacam-macam hal. Adanya peristiwa ban motor Imron dan AL yang bocor mengajarkan bahwa selama bersama, semua rintangan akan bisa dilewati. Aku mengira selama di Jogja kami akan menghabiskan budget yang besar untuk makan dan mengunjungi objek wisata, fokus berselfie ria sehingga lupa untuk berbincang bersama untuk merekatkan keakraban, ternyata aku salah. Perjalanan di Jogja memberikan makna yang tak terkira. Harapanku semoga kami selalu solid. Tidak ada yang boleh bilang nyerah dan bisa terus belajar bersama serta berbagi di BP2M. Aku ingin berterima kasih kepada kantor BP2M yang telah mengumpulkan kami (lagi) berdelapan. Semoga di tempat itu pula kami masih diberi kesempatan berkumpul bersebelas. Semoga.

Special thanks to:
1. AL, yang udah menyediakan penginapan beserta fasilitasnya selama di Jogja.
2. Siska, yang udah minjemin celana panjangnya yang super nyaman untuk jalan-jalan dan tidur karena aku gak bawa celana ganti.
3. Teguh, yang udah bersedia nebengin seorang anak manusia yang (katanya) gendut ini. Terima kasih telah menjadi teman nebeng yang keren mengarungi terik matahari dan derasnya hujan.
4. Imron, yang udah bersedia menemaniku menghadapi anjing galak dan bantuin aku benerin kunci pintu kamar mandi yang rusak sehingga aku bisa mandi dengan tenang. Hihi.
5. Rais, yang berhasil menjadi penunjuk jalan yang kompeten sehingga kita kembali ke jalan yang benar.
6. Micil, yang mau direpotin nemenin aku nyari tukang jual pulsa pagi-pagi buta dan menemani aku menikmati Jogja pagi hari.
7. Dian, yang merelakan kosnya jadi tempatku mengungsi dan bersabar menghadapi Yunita yang keinginannya suka aneh-aneh. 

Penghujung Express Terakhir


Awak magang Express
        Tidak terasa Express, buletin dwimingguan yang kita garap selama satu semester ini telah sampai pada edisi terakhir. Buletin yang sering jadi kambing hitam dari masalah yang kita hadapi. Buletin yang barangkali menjadi sumber konflik personal ataupun bersama. Tetapi, buletin itu lah yang membuat kami menjadi dekat satu dengan yang lain. Buletin pemersatu segala perbedaan diantara kita semua.
Panitia Diskusi Buku
Piknik bareng
Rapat tema

        Dari puluhan lebih redaktur kini yang tersisa hanya sebelas orang. Itu pun beberapa orang sudah mulai tak terlihat batang hidungnya. Terlepas dari itu, kita akan coba mempertahankan kesebalasan itu. Masing-masing dari kita pasti pernah jenuh dengan aktivitas keredaksian hingga seringkali melontarkan niatan untuk menyerah dan mundur. Aku salut pada kesepuluh awak Express yang memilih untuk bertahan di dalam organisasi yang penuh suka duka. Tidak dipungkiri aku tidak percaya pada diriku sendiri bahwa aku mampu bertahan hingga sejauh ini.
Upgrading
Nongkrong, diskusi, makan, ngakak bareng


            Setelah bergabung dalam organisasi pers kampus ini, ada suatu hal yang lebih berharga yang aku temukan di organisasi ini. Lebih dari sekadar sarana menyalurkan bakat dan minat, tetapi pun aku menemukan hubungan keluarga yang terjalin seiring berjalannya waktu. Segala peristiwa dalam proses pembuatan Express menjadi cerita yang tidak akan habis bila dibincangkan dan akan selalu terkenang.

Selfie everywhere, everytime~
Panitia Pendidikan Jurnalistik 2015
            Banyak sekali peristiwa menyenangkan yang kita nikmati bersama. Mulai dari jalan-jalan bareng, acara yang kita adakan seperti Pendidikan Dasar Jurnalistik (PJD) berlangsung sukses, berwisata kuliner, dan masih banyak lagi. Ada senang, tentu ada pula duka yang mengiringinya. Mulai dari peristiwa salah satu awak Express yang kecelakaan saat kita pergi bersama. Tidak sedikit pula peristiwa menjengkelkan terjadi, beberapa diantaranya saling tunggu-menunggu saat rapat tema akibat tidak tepat waktu dan saling membully. Hahaha.

Panitia Dialog Keberagaman

Liputan Express edisi PPA

            Tahun depan sudah ganti keredaksian, masing-masing dari  kita sudah memilih tujuan kemana setelah Express. Apapun yang kalian pilih, semoga kita tetap menjadi kesebelasan yang kompak dan kocak serta masih sering berkumpul bersama seperti saat nglembur Express malam-malam biasanya. Terima kasih sudah menjadi rekan kerja yang keren dan keluarga yang luar biasa. Aku sayang kalian!

Kurang piknik
Explore Semarang!

Buscar

 

Labels

About

Ma Petit Histoire Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger