ORANG
cerdas memahami konsekuensi setiap jawaban dan menemukan bahwa di balik sebuah
jawaban tersembunyi beberapa pertanyaan baru. Pertanyaan baru tersebut memiliki
pasangan sejumlah jawaban yang kembali akan membawa pertanyaan baru dalam
deretan eksponen sial. Sehingga mereka yang benar-benar cerdas kebanyakan
rendah hati, sebab mereka gamang pada akbiat dari sebuah jawaban. Konsekuensi-konsekuensi
itu mereka temui dalam jalur-jalur seperti labirin, jalur yang jauh
menjalar-jalar, jalur yang tak dikenal di lokus-lokus antah berantah, tiada
berujung. Mereka mengarungi jalur pemikiran ini, tersesat jauh di dalamnya,
sendirian.
Godaan-godaan
besar bersemayam di dalam kepala orang-orang cerdas. Di dalamnya gaduh karena
penuh dengan skeptisisme. Selesai menyerahkan tugas kepada dosen, mereka selalu
merasa tidak puas, selalu merasa bisa berbuat lebih baik dari apa yang telah
mereka presentasikan. Bahkan ketika mendapat nilai A plus tertinggi, mereka
masih saja mengutuki dirinya sepanjang malam.
Orang
cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang tak
bisa dilihat orang lain. Mereka yang tak dipahami oleh lingkungannya,
terperangkap dalam kegelapan itu. Semakin cerdas, semakin terkucil, semakin
aneh mereka. Kita menyebut mereka: orang-orang yang sulit. Orang-orang sulit
ini tak berteman, dan mereka berteriak putus asa meohon pengertian. Ditambah sedikit
saja dengan sikap introvert, maka orang-orang cerdas semacam ini tak jarang
berakhir di sebuah kamar dengan perabot berwarna teduh dan music klasik yang
terdengar lamat-lamat, itulah ruang terapi kejiwaan. Sebagian dari mereka amat
menderita.
Sebaliknya,
orang-orang yang tidak cerdas hidunya lebih bahagia. Jiwanya sehat walafiat. Isi
kepalanya damai, tenteram, sekalius sepi, karena tak ada apa-apa di situ,
kosong. Jika ada uara memasuki telinga mereka, maka suara itu akan
terpantul-pantul sendirian di daam sebuah ruangan yang sempit,
berdengung-dengung sebentar, lalu segera keluar kembali melalui mulut mereka.
Jika
menyerahkan tugas, mereka puas sekali karena telah berhasil memenuhi batas
akhir , dan ketika mendapat nilai C, mereka tak henti-hentinya bersyukur karena
telah lulus.
Mereka
hidup di dalam terang. Sebuah senter menyiramkan sinar tepat di atas kpala
mereka dan pemikiran mereka hanya sampai pada batas lingkaran cahaya senter
itu. Di luar itu adalah gelap. Mereka selalu berbicara keras-keras karena takut
akan kegelapan mengepung mereka. Bagi sebagian orang, ketidaktahuan adalah
berkah yang tak terkira.
Sumber : Hirata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang.
0 komentar:
Posting Komentar