Surat Untuk Kurcaci Gurem

Orang yang semangat harus tetap disemangati, bahkan orang yang paham pun harus tetap dipahamkan.
            Mungkin kamu melihatku sebagai orang yang selalu semangat, terlebih dalam hal keredaksian seperti liputan. Benar, aku memang orang yang selalu (berusaha) punya cadangan semangat untuk itu, tetapi kamu salah. Bukan karena aku tipe manusia yang penuh semangat, tetapi karena aku memiliki alasan lain sebab aku melakukannya bersamamu. Aku selalu berusaha tidak mengecewakanmu, selalu aku usahakan waktuku untuk menemanimu liputan. Apakah kamu melakukan hal sama demi aku?
            Setiap anggota tim telah berkorban, baik dalam hal waktu, energi untuk media yang sedang kita ampu. Ada salah satu awak yang berkata padaku, “Berkontribusi bukan hanya dalam tulisan saja, Yunita.” Iya, aku paham itu. Bukankah dalam keredaksian menuntut kita untuk banyak berkontribusi melalui tulisan? Kalaupun bukan melalui tulisan, apakah kamu berkorban dengan waktumu? Ah, menunggu yang lain untuk rapat saja pun kamu tak mau. Setiap orang berlomba-lomba menjadi orang yang paling ditunggu. Seharusnya bukan itu yang harus dikejar, tetapi berpikirlah bagaimana media kita menjadi sesuatu yang selalu ditunggu-tunggu pembaca. Aku pernah mendengar, “Apa yang bisa aku bantu? Mengedit tulisan gak bisa. Apalagi ngelayout? Ngapain aku ikutan lembur?” Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa kita ini satu tim, jadi bekerja pun semestinya satu tim. Sadarkah kamu bahwa kehadiranmu saja membuatku senang. Kamu tak perlu capek-capek mengedit atau melayout, temani saja aku saat sedang belajar jurnalistik. Manfaatkan waktu untuk belajar bersama dan berbagi cerita bersama. Ceritakan pengalaman-pengalamanmu padaku agar mataku tak terpejam ketika harus bekerja semalaman mengejar deadline.
              Lama bekerja sama dalam satu tim membuat kita saling mengenal satu dengan yang lain. Ada yang sama sekali tidak kenal kini dekat, ada juga yang pernah dekat kini semakin jauh. Dekat karena aku nyaman berbagi hal denganmu, seperti diskusi, liputan bersama, dan sebagainya. Bila kita semakin jauh berarti ada yang salah dengan salah satu diantara kita, mungkin saja kamu yang kurang suka dengan sikapku atau aku yang sengaja menjaga jarak denganmu. Di luar dekat atau jauh, aku harap kita masih tetap bersama berjuang dan tinggal dalam satu rumah yakni organisasi kita. 
               Aku sadar dengan sifat baper yang aku miliki. Akan tetapi, aku memiliki alasan mengapa aku baper yakni tidak ada alasan lain selain karena sifatmu. Dengan segala kebaperanku, aku minta maaf bila selama ini sifat ini sangat menggaggu. Tetaplah jadi bagian dari cerita hidupku yang akan aku tulis, 

Kawanmu yang baper,
Yunita

Ngopi Bareng di PakDhe

Kamis malam, agendaku malam itu adalah menghadiri rapat koordinasi di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Aku berangkat pukul 20.00 WIB menuju UKM dengan mengendarai sepeda motor, tetapi sebelumnya aku harus menjemput Annisa temanku supaya kami bisa ke UKM bersama. Tiba di kosnya Annisa, tidak seperti biasanya, pintu kamarnya terkunci dan tidak ada orang di dalam. Aku segera menghubungi Annisa melalui pesan singkat untuk mengajaknya rapat koordinasi di UKM. Kemudian, ponselku bordering tanda ada pesan singkat masuk dari Annisa. Ia mengatakan bahwa ia sedang berada di kos temannya untuk mengerjakan tugas kelompok dan tidak bisa pergi bersamaku ke UKM. Sudah capek ke kos Annisa, malah ia tidak berangkat. Memang ini salahku juga, aku tidak menanyakan padanya terlebih dahulu apakah akan berangkat ke UKM atau tidak.
            Lalu, aku pergi ke kosnya Micil untuk mengajaknya berangkat bersama ke UKM. Tiba di kosnya Micil, ternyata Micil juga tidak ingin berangkat rapat di UKM. Aku membujuknya berulang kali, tetapi tetap saja ia tidak mau aku ajak ke UKM. Akhirnya, aku memutuskan berangkat rapat sendirian ke UKM. Tiba di UKM, ternyata Teguh, Dian, dan Imron sudah menungguku sejak tadi. Aku merasa tidak enak sehingga aku mulai saja rapat koordinasinya.
           Setelah rapat selesai, Teguh mengajak kami ke kedai kopi. Aku mengusulkan untuk menunggu Rais dan Jazidi yang sejak tadi sedang meliput sebuah acara di Fakultas Teknik. Sembari menunggu, aku mengerjakan tugas kuliah sesekali ngobrol dengan Mas Aziz, Dian, Teguh, dan Imron. Satu jam kemudian, Rais dan Jazidi datang. Kami segera menuju ke sebuah kedai kopi Pak Dhe yang terletak di depan gerbang utama Unnes.
            Kami memilih tempat duduk di pojok supaya tidak terganggu dengan yang lain. Jujur saja, sebenarnya ini pertama kali aku, Teguh, Rais, Dian, dan Jazidi berkumpul bersama di kedai kopi. Sebelumnya, kami sering berencana mengadakan rapat di kedai kopi, tetapi selalu gagal. Entah ada mukjizat apa yang membuat kita berhasil berkumpul seraya menikmati seduhan kopi hingga larut malam, padahal kali ini tidak direncanakan. Di saat kumpul bersama, ada peraturan yang harus kami taati yakni dilarang sibuk dengan ponsel masing-masing, sebab kami sadar bahwa percuma berkumpul bersama tetapi sibuk dengan ponsel masing-masing. Oleh sebab itu, kami puaskan berbagi cerita dan tertawa melewati malam menjelang pagi.
            Disana kami bermain kartu, tetapi bukan kartu judi. Semacam permainan anak kecil yang mana hasil kemenangan kita diserahkan pada takdir. Entahlah, aku lupa nama permainan tersebut. Aku baru pertama kali memainkannya, itu pun terpaksa karena aku tidak suka bermain kartu. Atas nama solidaritas pertemanan, aku rela bermain kartu meskipun tidak bisa. Satu kali permainan tidak disangka bahwa aku lah pemenangnya. Teman-temanku pun heran mengapa orang yang mengaku tidak pernah bermain kartu sebelumnya bisa mengalahkan orang-orang yang berpredikat master kartu seperti teman-temanku. Pada permainan tersebut, pemenang berhak mengajukan pertanyaan bagi yang kalah. Pada kesempatan itulah, momen untuk saling buka rahasia selama kami berteman.
            Setelah bosan bermain kartu dan hidangan di atas meja telah lenyap, tiba-tiba pelayan café menghampiri kami kemudian memberikan daftar pesanan yang harus kami bayar, serta tak lupa memberitahu kami bahwa sebentar lagi café tersebut akan segera tutup. Kami sadar bahwa saat itu sudah pukul 1 pagi dan esoknya kami harus kuliah. Mengingat sudah diusir secara halus oleh pelayan café, kami memutuskan pulang ke kos masing-masing.
              Tiba di kos, aku segera beranjak menuju tempat tidur. Sebelum terpejam, aku sempat berpikir bahwa dibalik kesusahan ada kebahagiaan menunggu kita. Sempat kecewa karena gagal membujuk Annisa dan Micil berangkat ke UKM, ternyata ada hal yang membuat aku bahagia yaitu masih diberi kesempatan berkumpul dan berbagi cerita bersama teman-teman setelah seringkali kami gagal berkumpul bersama.

Belum Siap Ditinggal atau pun Meninggalkan

Tidak heran beberapa orang memutuskan menghilang karena tidak siap meninggalkan atau pun ditinggalkan.
            Apakah suatu saat nanti waktu yang membuatku memilih melakukan hal seperti itu atau aku akan tetap bertahan melihat keadaan yang tidak seperti semula. Aku merasa nyaman bersama mereka. Aku merasa memiliki keluarga karena mereka. Disaat aku jenuh dan muak dengan hal yang harus aku jalani, bersama mereka aku melupakan hal memuakkan itu.
            Mungkin sudah waktunya orang-orang lama akan tergantikkan oleh orang-orang baru. Yah, begitulah siklus kehidupan. Aku belum siap meninggalkan. Begitu pula aku tidak siap ditinggalkan. Apakah ini hanya ketakutanku saja? Aku takut perhatian mereka akan bergeser pada orang-orang baru. Kemarin, aku bertanya pada salah seorang diantara mereka.
             “Kalau sudah ada orang-orang baru, apakah kau akan tetap baik padaku?” Ia menjawab, “tentu saja.” Aku harap dia menepati ucapannya. Aku juga berharap tidak hanya dia, tetapi mereka, kalian  orang-orang yang aku sayangi. Terima kasih telah mengajakku melewati berbagai cerita. Aku harap semuanya tidak akan berubah dimana saatnya orang-orang baru datang. 

Buscar

 

Labels

About

Ma Petit Histoire Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger