“Bapakku seperti puisi, singkat dan
misterius.”- Fajar Merah, putra Widji Thukul.
Seperti
yang diungkapkan oleh Fajar Merah, Wiji Thukul memang sosok penuh teka-teki.
Hal ini yang menginspirasi Anggi Noen, sang sutradara untuk mengupasnya dalam
sebuah film. Berlatar tahun 1996, film ini mengangkat kisah hidup seorang Wiji
Thukul, salah seorang dari 13 aktivis yang dinyatakan hilang pada zaman rezim
Orde Baru. Seminggu sebelum tumbangnya Soeharto, Wiji Thukul dinyatakan hilang
dan tidak diketahui keberadaannya hingga sekarang.
Istirahatlah Kata-kata dibuka dengan sepotong adegan seorang intelijen yang tengah
mencoba mengorek informasi mengenai keberadaan Wiji Thukul dari seorang anak
perempuan dan wanita yang merupakan anak dan istri Wiji Thukul. Sedangkan di
belakang intelijen itu, intel lainnya digambarkan tengah menggeledah buku-buku
milik Wiji Thukul yang tertata rapi di rak buku rumahnya.
Sang
sutradara memang mengembangkan cerita pada situasi dan kondisi Wiji Thukul
selama melarikan diri dan bersembunyi di Pontianak pascakerusuhan 27 Juli 1996.
Film ini berfokus bagaimana Wiji Thukul beradaptasi dengan lingkungan baru
karena berpindah-pindah tempat tinggal dan bagaimana Wiji Thukul memupuk
keberanian untuk bersosialisasi dengan masyarakat dengan menggunakan identitas
baru.
Film
yang rilis pertama kali pada Agustus 2016 di Locarno International Film
Festival ke-69 ini tidak condong mengupas pergerakan Wiji Thukul dalam usahanya
melawan rezim Orde Baru, melainkan mengupas sisi manusiawi Wiji Thukul sebagai
sosok yang tengah menjadi buronan dan harus meninggalkan istri dan kedua
anaknya di Solo. Keresahan yang dirasakan Wiji Thukul diutarakan melalui
larik-larik puisi yang ditulisnya selama di Pontianak.
Gunawan
Maryanto, aktor yang memerankan tokoh Wiji Thukul apik melakoni peran seorang
Wiji Thukul. Tidak meragukan kepiawaian akting Gunawan Maryanto yang merupakan
seniman teater asal Yogyakarta berhasil menyuguhkan rasa cemas, takut, rindu,
marah yang membelenggu Wiji Thukul berada di antara penonton. Hanya secarik
kertas putih dan pensil serta penghapus karet gelang yang senantiasa menjadi
teman setia menuangkan kegelisahannya melalui bait-bait puisi yang ditulisnya.
Saat
Wiji Thukul melarikan diri ke Pontianak dan bersembunyi di rumah kawannya, rasa
kecemasan dan ketakutan coba divisualisasikan melalui punggung dan tatapan nanar
Wiji Thukul ketika makan bersama kedua kawannya di ruang tengah yang mana di
ruangan tersebut tergantung sebuah lukisan The
Last Supper. Pilihan sutradara menggunakan lukisan tersebut meluaskan
peluang interpretasi mengenai misteri 13 aktivis yang masih hilang. Sebuah
usaha “menolak lupa” yang terbilang cukup menarik.
Dijelaskan
bahwa Wiji Thukul menyembunyikan diri di Pontianak selama delapan bulan lamanya
demi meghindari aparat. Keberanian untuk menampakkan diri ke dunia luar
dipaparkan secara bertahap dari adegan berpindahnya Wiji Thukul dari rumah ke
rumah kawannya dan beraktivitas di luar rumah. Awalnya ia hanya berani keluar
rumah saat malam hari saja tatkala diajak seorang kawan untuk membeli tuak, itu
pun masih dihinggapi rasa takut terhadap kacang ijo (sebutan bagi tentara).
Kemudian Wiji mulai memberanikan diri berbincang dengan kawan-kawannya di teras
rumah.
Wiji
mulai berani berkomunikasi dengan dunia luar, di antaranya ngopi di kedai kopi
tepi Sungai Kapuas dan menghampiri seorang ibu yang anak bayinya tengah
menangis untuk sekadar bertanya. “Bapaknya kemana, bu?” tanya Wiji Thukul.
“Tidak tahu kemana, belum pulang-pulang,” jawab ibu tersebut. Hal itu cukup
menggugah Wiji Thukul karena yang dialami oleh wanita yang ditanyainya tersebut
berangkali dirasakan oleh istrinya Sipon yang ditinggalnya di Solo bersama
kedua anaknya, Fitri dan Fajar Merah. Sisi manusiawi itulah yang coba diangkat
oleh sang sutradara, Anggi Noen bahwa Wiji Thukul juga merupakan manusia yang tak
luput dari rasa rindu pada keluarganya.
Dalam
film tersebut, panasnya situasi politik saat itu digambarkan melalui siaran
radio dan perbicangan orang-orang. Tidak ada demonstrasi, tidak ada pekikan
suara para aktivis menuntut reformasi. Posisi Wiji Thukul sebagai pemimpin
demonstran memang tidak dimunculkan. Hanya ada kesunyian dan sepi yang terasa
selama pemutaran film. Sebab keseharian yang cukup menjenuhkan itulah yang menjadi
fokus utama film tersebut.
Puisi-puisi
Wiji Thukul yang mengisi sepanjang durasi film menghubungkan adegan demi adegan
agar lebih didalami oleh penonton. Seperti judulnya, Istirahatlah Kata-kata memang minim kata-kata, namun puisi-puisi
Wiji Thukul menggiring penonton untuk mendalami cerita. Karena tujuannya memang
agar penonton dapat menginterpretasi setiap puisi yang dilafalkan lewat
kata-kata dan memahami berbagai gejala yang dialami sang penyair. Ruang sepi
itulah yang coba dihadirkan kepada penonton.
Rasa
haru kental terasa tatkala menyaksikan adegan terakhir saat Wiji Thukul
mengambil segelas air putih untuk sang istri yang tengah menangis. Wiji Thukul
kemudian menawarkan lagi untuk mengambil segelas air putih di dapur lalu tidak
pernah kembali lagi. Keberadaan Wiji Thukul bak teka-teki yang sulit dipecahkan
hingga kini.
Film
yang saya kira akan berjalan serius itu rupanya banyak disisipkan humor yang
memunculkan gelak tawa penonton. Di balik humor yang dimunculkan sebenarnya
memiliki makna yang coba diungkapkan sang sutradara. Misalnya saja, pada adegan
saat Wiji Thukul sedang duduk di kamar sembari membaca buku kemudian datang
kerabatnya yang merupakan seorang mahasiswa. Perbincangan tersebut sedikit
membahas soal membaca dan keberanian bersuara. Lantas sang mahasiswa tersebut
berceletuk, “maka dari itu saya memilih untuk tidak membaca agar terlepas dari
beban untuk bersuara. Buat apa banyak-banyak membaca buku.” Jawaban mahasiswa
itu sontak memunculkan gelak tawa juga sindiran yang cukup keras.
Dalam
situasi yang genting pun Wiji Thukul masih menyempatkan diri berliterasi.
Dialog antara Wiji Thukul dan mahasiswa tersebut cukup menampar saya sebagai
mahasiswa, namun masih malas membaca dan takut bersuara ketika ada sesuatu yang
salah. Widji Thukul adalah sastrawan yang berani, sosok yang tidak bisa diam
melihat ketidakadilan dan menuntut adanya suatu gerakan untuk memusnahkan
ketidakadilan tersebut.
Bagaimanapun,
Istirahatlah Kata-kata patut
memperoleh apresiasi. Sebuah cara lain menikmati puisi selain dibaca sebagai
teks telanjang. Film ini sebagai bentuk penghormatan yang puitis kepada Wiji
Thukul, seorang penyair yang melawan ketidakadilan melalui kata-kata juga
seorang manusia yang bertahan di tengah tekanan yang teramat berat. Serta
sebagai sebuah upaya dan pengingat akan nasib aktivis yang masih hilang dengan
harapan menuntut agar negara serius mengurusi pekerjaan rumah yang belum
menemukan penyelesaian. Setidaknya Istirahatlah
Kata-kata mampu memperkenalkan Wiji Thukul kepada kita semua yang kian jauh
dari buku dan sejarah.