“Ini
bukan salah kamu, Yun atau pun salah siapa pun. Musibah tidak ada yang tahu.”
Begitulah sepenggal kalimat yang diucapkan Anita padaku melalui BBM. Hari ini
aku dan ayahku tertimpa musibah. Motor yang kami kendarai menuju Semarang
menabrak motor pengendara lain yang sedang melintas di perempatan lampu lalu
lintas. Baru kali ini aku mengalami kecelakaan. Sebelum-sebelumnya terkadang
aku hampir kecelakaan tetapi Allah menyelamatkanku berkali-kali, misal ditabrak
mobil, terseret truk gandeng, tertabrak truk pemuat pasir. Dan semuanya selalu
berakhir dengan hampir. Terkadang aku berpikir, andaikan ketika aku mengalami
kecelakaan, lebih baik aku meninggal saja sebab aku tak mau melihat ayahku dan
adikku menangis melihatku terbaring
lemah di kasur rumah sakit. Lebih baik meninggal seketika sehingga aku tak
perlu lagi merepotkan ayah dan keluarga, aku tidak perlu memaksa adikku yang
memang enggan belajar, dan aku tidak perlu lagi menunggu orang yang tidak akan
pernah datang. Semua masalahku di dunia juga akan berakhir. Kemudian aku
menertawakan diriku sendiri sebagai pengecut. Jikalau kalian juga ingin
menertawakanku, silakan saja. Aku tidak peduli, toh aku sudah mati dan tidak
akan kembali ke dunia penuh kepura-puraan ini. Dunia yang palsu. Ya, semua yang
ada di dunia ini palsu. Akan tetapi, aku meyakini ada hal yang tidak palsu
yakni; kasih sayang Allah pada makhluk-Nya dan kasih sayang ayah dan adikku.
Selain itu, PALSU!
Kembali ke poin awal, motor yang
kami tabrak milik seorang wanita gendut dengan titel guru di pundaknya. Aku
tidak percaya bahwa dia seorang guru. Sikapnya yang jauh dari kata bijaksana
semakin menguatkan hal itu. Dia menyita KTPku, kunci motorku, dan SIM milik
ayah. Padahal motornya yang rusak hanya pada bagian plastik penutup knalpot
saja, sementara motorku bagian belakang bengkok dan plat motor yang pecah. Iya,
ini memang kesalahan ayah karena tidak mengetahui ada lampu merah dan
kesalahanku karena aku ingin bawa motor saat kuliah. Namanya juga musibah,
semestinya dia juga memahami kami. Dia malah minta ganti rugi motor dan
mengganti celana seragamnya yang lecet seharga 400 ribu rupiah. Padahal hanya
celananya saja yang lecet, itu pun tidak sampai sobek. Dia memaksa ayah untuk
membelikan bahan seragam kerjanya seharga 400 ribu rupiah. Sungguh tidak adil.
Mungkin dunia sudah mengajarkan ilmu adil padanya.
Bahkan aku sempat mengeluarkan
kata-kata kotor pada wanita itu. Sebelumnya aku tak pernah seperti itu. Saat
aku mengeluarkan kata-kata kotor itu, ayahku sampai melarang aku berbicara
kotor seperti itu. Aku emosi, aku tidak rela mendengar orang lain memarahi ayah
padahal ayah adalah orang yang bertanggung jawab, tetapi wanita itu memfitnah
kami akan kabur melarikan diri tanpa bertanggung jawab. Alhamdulillah, datanglah
mediator yang menyelesaikan permasalahan kami, entah itu adil atau enggak.
Karena mediator tersebut adalah anggota keluarga dari ibu gendut itu. Ketika
masalah dapat diselesaikan, semuanya berjabat tangan, aku malas menyentuh orang
titisan syaiton seperti itu.
Setelah perjalanan kita sampai di
Kendal, kami berhenti di sebuah bengkel untuk memperbaiki motor kami yang
rusak. Saat sampai di Semarang, kami mampir di sebuah rumah makan. Ayah
menyuruhku makan, tetapi aku tidak nafsu makan mengingat wajah ibu gendut itu.
Aku kenyang mendengar ocehan ibu gendut. Disana, aku kira ayah akan memarahiku
karena kemarin-kemarin aku merengek meminta membawa motor saat kuliah. Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang telah menciptakan seorang laki-laki dengan
hati selembut kapas dan aku beruntung laki-laki yang telah Tuhan ciptakan itu
adalah ayahku. Mungkin Tuhan menciptakan hati ayah dari jenis kapas terbaik di
surga. Ayah tidak memarahi atau pun menyalahkanku.
Tiba di kosku, ayah melaksanakan
sholat dan meminta segera kembali ke Tegal karena badanya pegal akibat
kecelakaan tadi. Kami menuju stasiun Poncol untuk membeli tiket kereta api. Aku
pamit pulang ke kos sendiri karena aku sudah tahu sedikit jalan di kota
Semarang, tetapi ayah memaksaku untuk mengantarku sampai kosku. Aku tidak ingin terlalu merepotkan
ayah. Ayah malah bilang, “Ayah ini laki-laki, bisa kapan saja pulang. Sedangkan
kamu itu perempuan, aku mengkhawatirkan keselamatanmu.” Karena kami berdua sama-sama
keras kepala, proses negosiasi kami menghasilkan ayah mengantarkanku sampai
jembatan besi dan ayah akan diantar oleh ojek sampai stasiun. Ayah memintaku
pulang dulu, padahal aku ingin melihat ayah. Ayah memintaku untuk segera
menghubunginya jika aku sudah tiba di kos.
Dibalik musibah, ada hikmah yang
bisa dipetik. Begitulah pepatah berkata. Memang banyak sekali hikmah yang aku
petik dari kejadian ini, antara lain:
1.
Semestinya aku mendengar nasihat ayah dan tidak menuruti egoku
2.
Selesaikan masalah dengan kepala dingin
3.
Orang miskin lebih peduli pada orang lain dibandingkan orang yang berada
4.
Sebuah keputusan yang diambil berbanding
lurus dengan konsekuensinya
5.
Taatilah peraturan lalu lintas
6.
Kasih sayang orangtua tidak ada batasnya
7.
Saya benci diri saya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar