Loper Koran Sahabat Kita

Senin, 23 November 2014 lalu aku dapat tugas mata kuliah Etika. Tugasnya adalah kunjungan lapangan ke lembaga/perorangan yang sudah ditentukan oleh ibu dosen. Jauh-jauh hari aku memang udah  tau kalo ibu dosen bakal ngasih tugas beginian menjelang akhir semester. Waktu pembagian kelompok, khawatir aku bakal kerjasama sama siapa lagi. Jangan-jangan sama Juwariyah lagi. Secara mau diacak ataupun enggak teteupp aja satu kelompok bareng Juuuuuuwariyah. Dunia mulai menunjukkan keanehannya.
            Dengan menggunakan metode berhitung dari bilangan 1 sampai 6 ala anak TK, aku satu kelompok  bareng Ullya, Tirto, Rizki, dan Marfu’ah. Pembagian kelompok sudah. Nah, sekarang waktunya pembagian objek yang harus dikunjungi. Gak tau kenapa, yang tadinya aku pingin dapat kunjungan ke panti asuhan, seketika pingin berkunjung ke loper koran. Rasanya lebih seru jika dapat turun langsung ke jalan. Ibu dosen meminta wakil dari masing-masing kelompok untuk mengambil gulungan kertas yang berisi nama-nama objek yang harus dikunjungi. Kelompokku diwakilkan Ullya. YEAY! Kita dapat loper koran! Kata Ullya, “Gulungan kertas itu sebenarnya udah diambil oleh Nissa, tetapi karena jatuh ditaruh lagi ke tangannya bu dosen, lalu aku ambil ternyata isinya loper koran.”
            Wah, ternyata sesuatu yang jatuh dan dikira tidak berharga bisa menjadi salah satu anugerah. Halah. Blah. Ngomong apaan sik, Yun.
            Selepas pulang kuliah, kita berunding kapan dan dimana nyari loper koran untuk diwawancarai. Tirto ngasih usul kalo di dekat Tugu Muda Semarang banyak loper koran wira-wiri disana. Aku ngusulin kunjungan lapangan saat weekend, tetapi sebagian dari mereka gak setuju karena pada mau pulang kampung. Akhirnya, kita memutuskan untuk kunjungan lapangan besok pagi pukul 9 pagi kumpul di Gazebo B8 dulu. Karena orang-orang Indonesia terkenal akan jam karetnya, maka mereka pun ikut-ikutan ngaret. Aku juga sengaja telat 15 menit sih hehehe, secara kostku deket banget sama kampus, guling-guling cantik juga nyampe. Terus pagi itu aku dapat giliran piket masak, alhasil masak dulu sebelum beraktivitas.
            Sebagai calon pemimpin masa depan yang baik, aku memutuskan datang terlebih dahulu meskipun aku tau mereka belum pada dateng karena aku bisa liat kampus dari kostku karena kostku ada lantai di dua. Nyampe disana sudah ditebak aku harus nunggu sendirian di Gazebo mirip banget dah kayak nungguin wangsit, mana lagi pake jilbab pink pula. Ya ampuun.. Beberapa puluh menit kemudian, datanglah Rizki dengan mimik abis buka celengan ayam. Pas aku tanya, nah bener kan dia abis ngerampok ATMnya sendiri. Hahaha.
            Kita nunggu setengah jam-an lebih. Rizki yang mulai bosan menunggu kepastian #eh nunggu Tirto & Ullya mulai SMS dan nelponin mereka berdua. Akhirnya Ullya datang dulu. Aku & Rizki pergi ke kantin mau beli jajanan buat dimakan di angkot. Aku beli roti satu, Rizki beli dua roti plus susu coklat satu. Pantesan sehat dan subur banget dia.
            Kemudian Tirto pun datang. Dia ngusulin supaya ke tempat lokasi menggunakan motor biar cepet dan murah, tapi aku, Ullya & Rizki gak ada yang bawa motor ke kost. Tirto & Ullya berinisiatif minjem motor di Eci tapi gagal. Aku berinisiatif minjem motor di bu kost, tapi alasannya kunci motornya ilang. Yaudah, daripada gak ada yang ikhlas dimintain tolong. Kita naik angkot aja. Waktu lagi naik angkot, Marfu’ah SMS, katanya dia udah nyampe di Tugu Muda. Ajibbb.. katanya gak bisa datang, tau-tau udah di Tugu Muda aje.
            Abis naik angkot lanjut naik kopaja turun di lampu lalu lintas Jalan Pemuda Kota Semarang. Kita janjian sama Marfu’ah di depan Museum Dipongoro. Eciee.. si Marfu’ah ternyata dianterin sama patjarnya. Uhuy, fix aku ngiri. Seandainyaaaaa… jarak Tembalang-Gunung Pati tiada berarti~~ Nyanyi dikit boleh lah..
            Pacarnya Marfu’ah lantas pergi meninggalkan Marfu’ah. Hahaha. Kita pinjem Marfu’ahnya bentar yaaa. Waktu di zebra cross mau nyebrang, ada yang liat loper koran lagi nawarin korannya ke mobil-mobil yang lagi berhenti karena lampu merah. Langsung deh kita samperin.
“Pak, boleh minta waktunya sebentar?”
“Wah, ada apa nih?”
“Kita mau wawancara bapak boleh?”
“Wani piro?”
            Langsung mata kita semua terbelalak. Jleb! Mana kita semua duitnya pas-pasan.
Bapak loper koran itu langsung mengatakan, “Ah, enggak kok. Saya cuma becanda. Boleh kok.”
Pffiuuuhh.. Bapak bikin kita jantungan saja.
“Kalian dari mana nih? Wartawan ya? Kalo wartawan, saya tidak mau diwawancarai.”
“Oh, bukan Pak. Kami bukan wartawan, kami mahasiswa Unnes. Kebetulan sedang diberi tugas kuliah untuk mewawancarai loper koran.” Di dalam hati, aku ngaminin omongan Pak loper koran yang menyebut kita sebagai wartawan.
“Yang benar? Jangan bohong.”
“Benar, Pak.”
“Nanti saya jangan difoto ya.”
“Loh, kenapa? Lalu kita mendokumentasikannya pakai apa? Nanti dosen kita tidak percaya bagaimana?”
“Oh, yasudah boleh.”
            Segera aku mempersiapkan alat tulis dan buku kecil dengan tulisan KOMPAS.
“Loh, ini apa? Kok ada tulisan KOMPAS?!!”
“Oh, buku kecil ini saya dapat waktu saya ikut seminar jurnalistik dan kebetulan sponsornya KOMPAS.
            Kemudian datanglah Trio yang baru sampai di Jalan Pemuda Kota Semarang. Dia memakirkan sepeda motornya terlebih dahulu lalu menghampiri kita yang sedang mewawancarai Pak Loper koran. Ternyata nama pak loper koran itu adalah Pak Briyan a.k.a Briyanto. Huakakak. Bapak itu pandai bergurau ternyata. Beliau hanya lulusan SD, itupun ikut kejar paket. Meskipun demikian, semangatnya yang pantang menyerah patut dicontoh. Dia tidak kenal yang namanya mengemis dari orang lain selama dia mampu bekerja. Penghasilannya paling sedikit Rp30.000,00 hingga Rp50.000. Jumlah koran-koran yang dijualnya lebih kurang 80 koran per hari. Jika tidak terjual habis, koran tersebut tidak bisa dikembalikan ke agen koran. Terpaksa beliau menjualnya ke tukang koran bekas. Beliau pernah menolong seorang nenek buta yang akan menyebrang jalan dan menolong orang yang hendak dirampok preman. Pak Briyanto sangat menyanyangi adiknya. Terbukti penghasilan yang diperolehnya ditabung untuk membeli sebuah sepeda motor untuk adiknya. Pembeli koran beliau tidak hanyak dari kalangan umum saja, Pak Briyanto pernah bertemu pejabat-pejabat dan artis-artis yang hendak membeli korannya, seperti Pak Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng), Tjahjo Kumolo (Menteri dalam Negeri), Ivan Gunawan, Cita-citata, dan Audy Marisa. Beliau senang menjadi loper koran karena terjalin rasa kebersamaan antarpedagang di sekitar kawasan Jalan Pemuda. Namun, tak jarang beliau dikhawatirkan oleh petugas Satpol PP dan preman-preman yang pernah menodongnya. Meskipun demikian, Pak Briyanto belum pernah ditangkap oleh Satpol PP karena Satpol PP hanya akan menertibkan wanita-wanita yang berjualan koran sambil membawa bayinya dan anak-anak kecil yang tiap sore lalu lalang di sekitar Jalan Pemuda untuk berjualan koran. Pak Briyanto mengatakan jika beliau memiliki modal lebih, beliau ingin memiliki warung-warung kecil-kecilan di tepi jalan untuk berjualan, namun keinginannya terhalang oleh modal dan harga sewa tanah di Semarang yang mahal. Pak Briyanto berharap terhadap Pemerintah agar tidak menaikkan harga BBM karena akan semakin menyengsarakan rakyat kecil. Beliau tak lupa mendoakan kami supaya cepat lulus kuliah dan segera memperbaiki negeri ini.








            Setelah selesai wawancara, kami pamit pulang. Disana orang-orangnya ramah-ramah. Yang bikin pengen ketawa, ada seorang kakek-kakek yang tiap kit wawancara ngintilin mulu.
“Nak, gak mau wawancara kakek?”
“Nanti aja kek, kapan-kapan yaa..”
“Yaudah, kamu namanya siapa? Nanti telpon kakek ya.”
“Oh siap. Kita pulang dulu yaa, Kek.”

            Abis pamitan sama si kakek, kita iseng mampir sebentar ke Lawang Sewu tapi gak jadi masuk karena lagi direnovasi dan kita emang lagi ngirit. Karena jam menunjukkan puku 12.00 WIB, kita mutusin nyari makan di sekitar kawasan Jalan Pemuda. Mata kita tertuju pada bakso dan mie ayam. Kita makan dulu ngilangin rasa laper. Selesai makan, kita pulang menggunakan bus BRT. Pokoknya seru petualangan kali ini! Ternyata gak cuma aku aja yang ketagihan terjun ke lapangan lagi, teman-temanku pun pingin kesana lagi. Walaupun sebelumnya banyak banget rintangannya. But, Alhamdulillah wa syukurillah…

¡Compártelo!

0 komentar:

Posting Komentar

Buscar

 

Labels

About

Ma Petit Histoire Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger