Genap berusia empat tahun orang tua aku
memutuskan untuk memasukkan aku ke Taman Kanak-kanak. Alasan mereka memasukkan aku
ke sekolah TK adalah karena mereka sibuk, orang tua aku tidak ingin merepotkan
keluarga/kerabat yang lain gara-gara mengemong aku. Selain itu, mereka sadar aku
sudah siap menerima pendidikan sejak dini bersosialisasi dengan orang luar
selain keluarga.
Aku bersekolah di Taman Kanak-kanak “Tunas
Mulia” , letaknya tidak begitu jauh dari Balai Desa tempat bekerja Mama. Setiap
hari aku berangkat sekolah diantar oleh Mama sekaligus beliau berangkat bekerja
mengendarai sepeda warna kuning. Yang aku ingat, Mama pernah bercerita pada aku
bahwa ketika hari pertama masuk TK aku menangis dan ingin Mama menemani aku di
dalam kelas belajar bersama. Tetapi setelah dibujuk oleh ibu guru, aku pun
berani dan Mama keluar dari kelas lalu
bergegas menuju tempat kerja. Aku bukan seperti anak lain yang menuntut ibunya harus menemani anaknya belajar di sekolah dari
berangkat sampai pulang dan mewajibkan menjemput jika pulang sekolah. Aku
sadar, orang tua aku sibuk mencari uang demi aku. Mereka ingin aku bersekolah
setinggi mungkin dan menjadi orang yang
berhasil. Yang aku tau saat itu adalah kedua orang tua aku adalah orang-orang
pintar sehingga mereka dibutuhkan oleh orang lain untuk bekerja. Jam sepuluh pagi adalah waktu bagi anak-anak
TK pulang sekolah, seperti biasa ibu guru TK selalu menyempatkan menyanyikan
lagu Sayonara. Berbeda dengan sekarang,
saat masih TK aku masih menuruti perintah guru untuk melakukan apa saja yang
mereka suruh. Mungkin bukan aku saja. Ketika pulang sekolah TK, sesibuk apapun
Mama, dia selalu menyempatkan untuk menjemput aku dan setelah sampai rumah Mama
tidak segera mengganti pakaian kerjanya tetapi dia segera mengambil sepedanya
dan mengayuhnya lagi bergegas menuju Balai Desa. Ya, jam sepuluh pagi bukan
waktunya jam pulang untuk perangkat desa seperti Mama. Dan ketika jam dua
belas siang tiba Mama pulang dengan
membawa makanan di tangannya untuk makan siang kami bertiga.
Di pendidikan Taman Kanak-kanak aku
dikenalkan dengan teman-teman sebaya aku. Dari sana aku mulai belajar mengerti
persahabatan. Aku memiliki dua sahabat yang saat itu sangat dekat dengan aku,
mereka adalah Ajeng dan Gita. Ajeng lahir tahun 1997, Gita lahir tahun 1995
sedangkan aku lahir pada tahun 1996. Walaupun begitu, kami tidak
mempermasalahkannya karena pada saat itu kami tidak mengetahuinya. Yang kami
tahu adalah setiap hari kami harus bermain dan belajar bersama. Jika ada salah
satu dari kita memiliki benda yang menarik, semuanya juga harus memilikinya.
Bisa dibilang prinsip kita: “All for One And One for All”.
Dari aku, Ajeng dan Gita, hanya aku
yang setiap hari bersekolah tidak ditemani ibunya. Tetapi itu tidak mengecilkan
semangat belajar aku. Mama-nya Ajeng dan Mama-nya Gita sudah aku anggap seperti
Mama aku sendiri, apalagi Mama-nya Ajeng. Dia salah satu sahabat Mama aku,
selain itu dia sangat baik dan perhatian pada aku.
Selain sudah disekolahkan di Taman Kanak-kanak,
aku juga dimasukkan ke TPQ untuk belajar mengaji. Mungkin pada saat itu Mama aku
berpikir belajar sejak usia dini akan lebih memudahkan anak mengingat materi
yang dipelajarinya. Pada saat itu aku lebih suka berangkat sekolah daripada
mengaji karena waktu mengaji adalah waktu yang pas ntuk tidur siang. Tak jarang
aku menangis untuk tidak berangkat mengaji dengan alasan ngantuk. Alhamdulillah,
alhasil kelas 5 SD aku sudah Khatam Qur’an. Acara Khatam Qur’annya sangat
meriah. Sore hari aku dan teman-teman di arak keliling desa Bongkok menggunakan
becak dengan diiringi drumband dan rebana. Aku naik becak dengan ditemani Mama
dan adik perempuan aku. . Mama sangat
cantik mengenakan jilbab, aku merasa menjadi perempuan paling beruntung karena
memiliki ibu seperti Mama.
Satu tahun kemudian, Ajeng berusia 6
tahun, aku 5 tahun dan Gita genap berusia 6 tahun. Itu artinya Gita sudah harus
melanjutkan ke Sekolah Dasar. Itu membuat aku dan Ajeng sedih dan sedikit iri
melihat Gita sudah bisa melanjutkan ke SD. Ibu guru membujuk kita berdua agar
lebih bersabar karena usia kita belum cukup untuk melanjutkan ke SD. Satu tahun
berlalu, aku dan Ajeng akhirnya bisa melanjutkan ke SD. Kita memilih
melanjutkan ke SD Negeri Bongkok 01, karena lokasinya lebih dekat menuju rumah
daripada SD Negeri Bongkok 2 dan 3.
Hari pertama, aku duduk sebangku
dengan Ajeng. Kita diajarkan menulis daan membaca, itu hal mudah bagi aku,
karena di TK sudah dijarkan bagaimana menulis dan membaca. Hari-hari berikutnya
Ibu guru menerapkan system “Yang Bisa Jawab Pulang Duluan”. Setiap bel ulang
berbunyi, Ibu guru memeberikan pertanyaan-pertanyaan pada siswa-siswinya dan
berkali-kali aku yang dapat menjawab dan pulang terlebih dahulu. Mama aku dan
ibu-ibu penjual jajan juga heran sekaligus bangga pada aku karena lagi-lagi
dapat menjawab pertanyaan dari Ibu guru.
Semester pertama dapat aku lalui
dengan baik, aku menemukan banyak teman baik dan mendapat rangking pertama di
kelas. Namun, semester kedua prestasi aku menurun, aku mendapat peringkat 5 di
kelas akibat terlalu asik bermain sehingga melupakan waktu belajar.
Dari kelas 1 sampai dengan 3 aku
duduk sebangku dengan Ajeng dan dari kelas 4 samapai dengan 6 aku duduk dengan
Riris. Sebenarnya dari kelas 4, aku sudah tidak ingin lagi duduk sebangku
dengan Riris karena banyak sifatnya yang aku tidak suka. Namun, setiap hari
pertama masuk kelas baru Riris selalu datang pertama ke sekolah untuk berlomba
mencari tempat duduk barisan paling depan untuk kami berdua. Aku berbeda dengan
Riris, sampai sekarang aku tidak suka duduk di barisan paling depan. Aku lebih
suka duduk di bangku barisan kedua atau ketiga.
Selama 6 tahun belajar bersama Riris
dalam satu sekolah yang sama banyak pengalaman yang aku dapatkan, tapi kebanyakan
membuat aku trauma. Dari kelas 1 SD, Riris selalu menjahili aku. Tidak hanya aku,
teman-teman aku juga pernah dijahili olehnya. Riris sebenarnya anak yang baik,
tetapi banyak sifatnya yang aku tidak sukai salah satunya dia sering memfitnah aku
di depan teman-teman aku. Padahal saat itu usia kami masih 7 tahun. Sepulang
sekolah aku selalu menceritakan pengalaman selama di sekolah kepada Mama
termasuk ketika Riris menjahili aku. Ketika aku berangkat mengaji dan diantar
oleh Mama, beliau selalu menasehati Riris agar tidak menjahili aku lagi. Dan
itu tidak membuat Riris jera, sampai orang tuanya kewalahan menghadapinya.
Ketika tamat Sekolah Dasar, Riris dan
kebanyakan teman aku melanjutkan ke SMP Negeri 2 Kramat berbeda dengan aku. Aku
lebih memilih melanjutkan ke MTs NU 01 Kramat, tempat dimana Bapak aku
mengajar. Disana aku menemukan jati diri aku, aku lebih percaya diri atas
kemampuan aku. Semua organisasi sekolah dan ekstra kulikuler aku ikuti dari
OSIS, Pramuka, Karate, Teater dan Drum Band. Sampai-sampai nenek khawatir
dengan keadaan aku karena mengikuti banyak ekskul. Tapi, dari situ aku belajar
semuanya.
0 komentar:
Posting Komentar